Home AKHLAK & ADAB

Kapan Bohong Diperbolehkan?

811
SHARE
Kapan Bohong Diperbolehkan

Pertanyaan:

Assalamu’alaikum wa rahmatullahi wa barakatuh, Ustadz. Saya mau bertanya. Bagaimanakah hukumnya kalau seandainya kita berbohong kepada seseorang yang meminta tolong kepada kita untuk mengerjakan sesuatu yang diwajibkan untuk dia, yang sebenarnya dia mampu/bisa mengerjakannya tetapi dia menjadi tidak bisa karena suka menunda-nunda waktu untuk mengerjakannya? Syukran. Jazaakallahu khairan, Ustadz.

Jawaban Ust. Farid Nu’man Hasan Hafizhahullah:

Wa’alaikumussalam wa Rahmatullah wa Barakatuh.

Berbohong termasuk akhlak buruk dan aib bagi kepribadian seseorang.

Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

وَإِنَّ الْكَذِبَ يَهْدِي إِلَى الْفُجُورِ ، وَإِنَّ الْفُجُورَ يَهْدِي إِلَى النَّارِ ، وَإِنَّ الرَّجُلَ لَيَكْذِبُ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللَّهِ كَذَّابًا

Sesungguhnya berbohong itu membawa kepada dosa, dan dosa membawa kepada neraka. Seseorang benar-benar berbohong sampai dia dicatat di sisi Allah sebagai seorang pembohong. (H.R. Bukhari no. 6094, Muslim no. 2607)

‘Aisyah Radhiallahu ‘Anha berkata:

مَا كَانَ خُلُقٌ أَبْغَضَ إِلَى أَصْحَابِ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنَ الْكَذِبِ

Tidak ada akhlak yang lebih dibenci oleh para sahabat Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam dibanding berbohong. (H.R. Ahmad, 42/101. Shahih)

Namun demikian, ada keadaan dimana berbohong itu dibolehkan. Keadaan itu adalah:

1. Saat berperang. Karena Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

فَإِنَّ الْحَرْبَ خَدْعَةٌ

Maka sesungguhnya perang itu tipu daya. (H.R. Muttafaq ‘Alaihi)

2. Mendamaikan saudara sesama muslim yang bertengkar

لَيْسَ الْكَذَّابُ الَّذِي يُصْلِحُ بَيْنَ النَّاسِ وَيَقُولُ خَيْرًا وَيَنْمِي خَيْرًا

Bukan kategori berbohong orang yang mendamaikan manusia, dan dia berkata baik dan dengannya dia membina kebaikan. (H.R. Muslim no. 2605)

3. Berbohong suami kepada istri, atau kebalikannya, untuk menjaga perasaannya.

4. Berbohong untuk melindungi orang shalih yang difitnah dan ingin dicelakai.

Lalu …

Untuk kasus yang ditanyakan, ada uraian bagus dari Syaikh Muhammad Shalih Al Munajjid, kata beliau:

فنقول : الكلام وسيلة إلى المقاصد :

Kami katakan bahwa perkataan itu adalah sarana dari maksud dan tujuan:

1- فكل مقصود محمود يمكن التوصل إليه بالصدق والكذب جميعاً : فالكذب فيه حرام .

Maka semua maksud yang terpuji yang mungkin bisa diraih dengan jujur dan bohong sekaligus, maka berbohong dalam keadaan itu haram.

2- وإن أمكن التوصل إليه بالكذب دون الصدق : فالكذب فيه مباح إن كان تحصيل ذلك القصد مباحاً .

Jika kemungkinan mendapatkan tujuan baik itu hanya dengan berbohong tidak bisa dengan jujur, maka saat itu bohong menjadi boleh.

3- وواجب إن كان المقصود واجباً ، كما أن عصمة دم المسلم واجبة ، فمهما كان في الصدق سفك دم امرئ مسلم قد اختفى من ظالم فالكذب فيه واجب

Dan yang wajib jika tujuannya pada hal yang wajib, seperti melindungi darah (nyawa) seorang muslim, maka jika jujur justru membuat tertumpah darah seorang muslim maka sembunyikan dari orang zhalim, saat itu wajib berbohong. (Fatawa Al Islam Su’aal wa Jawaab no. 154955)

Maka, lihat kasus antum, jika masih bisa dipakai cara yang jujur, memberikan nasihat, maka berbohong adalah haram. Tapi, jika tidak ada cara lain, maka berbohong adalah boleh.

Demikian. Wallahu A’lam.