Home FIQIH IBADAH

Makna Fiqih, Sebuah Pengantar

1571
SHARE
Hasan al Banna, Mujaddid yang Syahid

Makna Secara Bahasa

الفِقْهُ: العِلْمُ في الدِّين، فَقُهَ الرَّجُلُ يَفْقُهُ فِقْهاً وفَقِهَ يَفْقَهُ فَقَهاً: عَلِمَ.

Al Fiqhu : Ilmu agama, faquha ar Rajulu yafquhu  fiqhan (Laki-laki itu memahami ilmu). Faqiha – yafqahu- faqahan: mengetahui / mempelajari. (Al Muhith fil Lughah, Juz. 1, Hal. 278)

الفِقْهُ: الفهمُ. وأفْقَهْتُكَ الشيء. ثم خُصَّ به عِلْمُ الشريعة، والعالِمُ به فَقيهٌ

Al Fiqhu: pemahaman. Afqahtuka asy Syai’ : Aku ajarkan kamu sesuatu. Kemudian maknanya menyempit menjadi ilmu syariah, dan orang yang memiliki ilmu tersebut disebut faqih. (Ash Shihah fil Lughah, Juz. 2, Hal. 49. Imam Al Qurthubi, Al Jami’ Li Ahkamil Quran, Juz. 11, Hal. 193)

الفِقْهُ، بالكسر العِلْمُ بالشيءِ، والفَهْمُ له، والفِطْنَةُ، وغَلَبَ على عِلمِ الدينِ لشَرَفِه

Al Fiqhu: dengan kasrah, maksudnya Ilmu tentang sesuatu, pemahaman dan  kecerdasan. Umumnya bermakna ilmu agama  lantaran kemuliaannya. (Al Qamus Al Muhith, Juz. 3, Hal. 384)

                Makna di atas juga ditegaskan oleh ayat-ayat berikut:

وَلَقَدْ ذَرَأْنَا لِجَهَنَّمَ كَثِيرًا مِنَ الْجِنِّ وَالإنْسِ لَهُمْ قُلُوبٌ لا يَفْقَهُونَ بِهَا وَلَهُمْ أَعْيُنٌ لا يُبْصِرُونَ بِهَا وَلَهُمْ آذَانٌ لا يَسْمَعُونَ بِهَا

          “Dan Sesungguhnya Kami jadikan untuk (isi neraka Jahannam) kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah).” (QS. Al A’raf (7): 179)

Ayat lain, tentang doanya Nabi Musa ‘Alaihis Salam:

وَاحْلُلْ عُقْدَةً مِنْ لِسَانِي يَفْقَهُوا قَوْلِي

Dan lepaskanlah kekakuan dari lidahku,supaya mereka mengerti perkataanku. (QS. Thaha (20): 27-28)

Berkata Imam Al Qurthubi Rahimahullah:

(يفقهوا قولي) أي يعملوا ما أقوله لهم ويفهموه

“Artinya ajarkkanlah mereka dan fahamkanlah mereka atas apa-apa yang aku katakan.” (Imam Al Qurthubi, Al Jami’ Li Ahkamil Quran, Juz. 11, Hal. 193)

                Jadi makna fiqih pada dasarnya adalah pemahaman, pengetahuan, kecerdasan, dan ilmu tentang agama (Islam). Makna ini adalah makna yang umum dan luas meliputi semua item kajian agama, duni dan akhirat. Hal ini dipertegas lagi oleh para mufassir ketika mentafsirkan ayat-ayat berikut:

أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الأمْرِ مِنْكُمْ

“Taatlah kalian kepada Allah, dan taatlah kepada Rasul, dan kepada Ulil Amri di antara kalian…” (QS. An Nisa (4): 59)

Imam Ibnu Katsir Rahimahullah mengomentari makna ‘Ulil Amri’ sebagai berikut:

وقال علي بن أبي طلحة، عن ابن عباس: { وَأُولِي الأمْرِ مِنْكُمْ } يعني: أهل الفقه والدين. وكذا قال مجاهد، وعطاء، والحسن البصري، وأبو العالية: { وَأُولِي الأمْرِ مِنْكُمْ } يعني: العلماء.

“Berkata Ali bin Abi Thalhah, dari Ibnu ‘Abbas bahwa “Ulil Amru di antara kalian” maknanya adalah Ahlul fiqh (ahli ilmu)  dan agama. Demikian juga pandangan dari Mujahid, Atha’, Al Hasan al Bashri, dan Abul ‘Aliyah, makna “Ulil Amri di antara kalian” adalah ulama.” (Imam Ibnu Katsir, Tafsir Al Quran Al ‘Azhim, Juz.2, Hal. 345)

Ayat lain:

فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ (43)

“Maka bertanyalah kepada Ahludz Dzikri jika kalian tidak mengetahui.” (QS. An Nahl (16): 43)

Siapakah Ahludz Dzikri yang dimaksud oleh ayat yang mulia ini?

Berkata Imam Al Qurthubi Rahimahullah dalam kitab tafsirnya:

وقال ابن عباس: أهل الذكر أهل القرآن وقيل: أهل العلم، والمعنى متقارب.

Berkata Ibnu ‘Abbas: “Ahludz Dzikri adalah Ahlul Quran (yang faham Al Quran), dan dikatakan: Ahli Ilmu (ulama), makna keduanya berdekatan.” (Imam Al Qurthubi, Al Jami’ Li Ahkamil Quran, Juz. 10, Hal. 108, Ihya’ ats Turats al ‘Arabi, 1985M-1405H. Beirut-Libanon)

Ada penjelasan yang lebih lengkap dari Imam Amir Ash Shan’ani Rahimahullah ketika mengomentarI hadits, “Barangsiapa yang dikehendaki kebaikan maka akan difahamkan baginya agama,” sebagai berikut:

( وَعَنْ مُعَاوِيَةَ قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : { مَنْ يُرِدْ اللَّهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فِي الدِّينِ } مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ ) الْحَدِيثُ دَلِيلٌ عَلَى عَظَمَةِ شَأْنِ التَّفَقُّهِ فِي الدِّينِ وَأَنَّهُ لَا يُعْطَاهُ إلَّا مَنْ أَرَادَ اللَّهُ بِهِ خَيْرًا عَظِيمًا كَمَا يُرْشِدُ إلَيْهِ التَّنْكِيرُ وَيَدُلُّ لَهُ الْمَقَامُ .

وَالْفِقْهُ فِي الدِّينِ تَعَلُّمُ قَوَاعِدِ الْإِسْلَامِ وَمَعْرِفَةُ الْحَلَالِ وَالْحَرَامِ وَمَفْهُومُ الشَّرْطِ أَنَّ مَنْ لَمْ يَتَفَقَّهْ فِي الدِّينِ لَمْ يُرِدْ اللَّهُ بِهِ خَيْرًا .

وَقَدْ وَرَدَ هَذَا الْمَفْهُومُ مَنْطُوقًا فِي رِوَايَةِ أَبِي يَعْلَى { وَمَنْ لَمْ يُفَقَّهْ لَمْ يُبَالِ اللَّهُ بِهِ } وَفِي الْحَدِيثِ دَلِيلٌ ظَاهِرٌ عَلَى شَرَفِ الْفِقْهِ فِي الدِّينِ وَالْمُتَفَقِّهِينَ فِيهِ عَلَى سَائِرِ الْعُلُومِ وَالْعُلَمَاءِ وَالْمُرَادُ بِهِ مَعْرِفَةُ الْكِتَابِ وَالسُّنَّةِ .

`           “Dari Mu’awiyah dia berkata, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Barangsiapa yang dikehendaki Allah kebaikan maka akan difahamkannya agama.” (HR. Muttafaq ‘alaih). Hadits ini merupakan dalil yang agung atas upaya tafaqquh fid din (mempelajari ilmu agama). Hal itu tidak akan diberikan kecuali untuk orang-orang yang Allah kehendaki kebaikan yang besar, sebagaimana Dia memberikan arahan kepada orang bodoh, dan menunjukinya ke derajat yang mulia. Al Fiqhu fid din adalah mempelajari kaidah-kaidah Islam dan mengetahui halal-haram. Makna tersiratnya adalah bahwa barangsiapa yang tidak diberikan pemahaman agama maka dia tidak dikehendaki kebaikan oleh Allah Ta’ala. Pemahaman tersirat ini telah ditegaskan dalam hadits riwayat  Abu Ya’la: “Barangsiapa yang tidak difahamkan (agama) maka Allah tidak peduli dengannya.” Hadits ini merupakan dalil yang jelas bahwa kemuliaan Al Fiqhu fid din (pemahaman terhadap agama) dan orang-orang yang mempelajarinya, di atas segala jenis ilmu dan  cendekiawan. Dan yang dimaksud dengannya adalah memahami Al Kitab (Al Quran) dan As Sunnah. (Imam Ash Shan’ani, Subulus Salam, Juz. 7, Hal. 221)

Imam Fakhrul Islam al Bazdawi  menambahkan lebih tajam lagi:

وَاسْمُ الْفِقْهِ فِي الْعَصْرِ الْأَوَّلِ كَانَ مُنْطَلِقًا عَلَى عِلْمِ الْآخِرَةِ وَمَعْرِفَةِ دَقَائِقِ آفَاتِ النُّفُوسِ وَالِاطِّلَاعِ عَلَى الْآخِرَةِ وَحَقَارَةِ الدُّنْيَا قَالَ اللَّهُ تَعَالَى { لِيَتَفَقَّهُوا فِي الدِّينِ وَلِيُنْذِرُوا قَوْمَهُمْ }

            “Nama Fiqih pada masa awal dahulu bermakna mutlak (umum) untuk ilmu akhirat, pengetahuan kehalusan dan kerusakan jiwa, kemulian akhirat dan kehinaan dunia. Allah Ta’ala berfirman:  “Untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya.” (Imam al Bazdawi, Kasyful Asrar, Juz. 1, Hal. 33)

Penyempitan Makna Fiqih

Kita telah mengatahui bahwa makna fiqih pada awalnya sangat umum dan luas yakni mencakup segala item kajian Islam; baik ilmu tentang Al Quran, As Sunnah, Halal-Haram, dan lain-lain.  Namun istilah ini mengalimi penyempitan makna pada masa yang belum diketahui pastinya. Kemungkinan adalah pada masa Imam Nashirus Sunnah, yakni Imam Asy Syafi’i Radhiallahu ‘Anhu, ketika dia meletakkan dasar-dasar fiqih Islam (Ushul Fiqih) dalam sebuah bukunya yang terkenal Ar Risalah. Buku ini dan penulisnya, dianggap sebagai  perintis bidang keilmuan ushul fiqih dalam khazanah fiqih Islam.

Saat ini, fiqih mengalami penyempitan makna, demikian menurut para ulama kita di antaranya:

Imam Ali bin Muhammad Al Amidi

الفقه مخصوص بالعلم الحاصل بجملة من الاحكام الشرعية الفروعية، بالنظر والاستدلال.

“Fiqih secara spesifik adalah ilmu yang menelorkan secara global hukum-hukum syar’i yang cabang, baik dengan akal atau dengan dalil.” (Imam Ali bin Muhammad al Amidi, Al Ihkam fi Ushulil Ahkam, Juz.1, Hal. 6)

Imam Abu Muhammad bin Hazm Azh Zhahiri Al Andalusi

فحد الفقه هو المعرفة بأحكام الشريعة من القرآن، ومن كلام المرسل بها، الذي لا تؤخذ إلا عنه، وتفسير هذا الحد – كما ذكرنا – المعرفة بأحكام القرآن وناسخها ومنسوخها، والمعرفة بأحكام كلام رسول الله (ص) ناسخه ومنسوخه،

“Batasan Fiqih adalah pengetahuan tentang hukum syariah dari Al Quran, dan perkataan Rasul tentang hukum, dan tidak boleh mengambil masalah ini kecuali darinya, dan tafsir batasan ini –sebagaimana yan telah kami sebutkan-  adalah pengetahuan tentang hukum-hukum Al Quran beserta nasikh  dan mansukhnya, dan pengetahuan tentang perkataan Rasulullah beserta nasikh dan mansukhnya.” (Imam Abu Muhammad bin Hazm, Al Ihkam fi Ushulil Ahkam, Juz. 5, Hal. 694)

Imam Fakhruddin Muhammad bin Umar bin Al Husain ar Razi

وفي اصطلاح العلماء عبارة عن العلم بالأحكام الشرعية العملية والمستدل على أعيانها بحيث لا يعلم كونها من الدين ضرورة

            “Secara terminologis para ulama, arti dari fiqih adalah ilmu tentang hukum-hukum syariat  yang terkait dengan amal perbuatan dan penggalian dalil khusus yang tidak diketahui tentang diktum-diktum agama yang penting.” (Imam Fakhruddin ar Razi, Al Mahshul fi ‘Ilmi Ushul Al Fiqh, Juz. 1, Hal. 78)

Imam Fakhruddin al Bazdawi

وَهُوَ ثَلَاثَةُ أَقْسَامٍ : عِلْمُ الْمَشْرُوعِ بِنَفْسِهِ وَالْقِسْمُ الثَّانِي إتْقَانُ الْمَعْرِفَةِ بِهِ وَهُوَ مَعْرِفَةُ النُّصُوصِ بِمَعَانِيهَا وَضَبْطُ الْأُصُولِ بِفُرُوعِهَا وَالْقِسْمُ الثَّالِثُ هُوَ الْعَمَلُ بِهِ

“(Fiqih) ada tiga bagian; pertama, ilmu tentang hal-hal yang disyariatkan. Kedua, penelitan dan pendalaman pengetahuan tentangnya yakni pengetahuan nash-nash dan maknanya, serta kaidah-kaidahnya yang cabang. Ketiga, pengamalannya.” (Imam Al Bazdawi, Kasyful Asrar, Juz.1, Hal. 28)

Imam Zakaria bin Muhammad bin Ahmad bin Zakaria al Anshary

واصطلاحا: العلم بالاحكام الشرعية العملية المكتسب من أدلتها التفصيلية، وموضوعه: أفعال المكلفين من حيث عروض الاحكام لها، واستمداده: من الكتاب والسنة والاجماع والقياس وسائر الادلة المعروفة، وفائدته: امتثال أوامر الله تعالى واجتناب نواهيه المحصلان للفوائد الدنيوية والآخروية.

                “Secara terminologis, (fiqih) adalah ilmu tentang hukum-hukum syariat seputar amal perbuatan yang dilakukan, berupa dalil-dalilnya dan perinciannya. Temanya: perilaku mukallaf (orang yang kena beban syariat) dilihat dari sisi hukumnya. Penopangnya: Al Quran, As Sunnah, Ijma’, Qiyas dan semua dalik-dalil yang telah diketahui. Faedahnya: melakukan perintahNya Ta’ala dan menjauhi laranganNya, dan mendapatkan dua manfaat, dunia dan akhirat.” (Imam Zakaria al Anshary, Fathul Wahhab, Juz. 1, Hal. 8)

                Demikianlah secara ringkas makna fiqih, menurut Al Quran, As Sunnah dan penjelasan para Imam Ahlus Sunnah. Semoga bermanfaat. Wa akhiru da’wana an alhamdulillahi rabbil ‘alamin. Wallahu A’lam

Perselisihan Fiqih dan  Sikap Para Imam Terhadapnya

Saat ini kita hidup pada zaman penuh fitnah, di antaranya fitnah iftiraqul ummah (perpecahan umat). Di antara banyak penyebab perpecahan itu adalah perselisihan mereka dalam hal pemahahaman keagamaan. Hanya yang mendapat rahmat dari Allah Ta’ala semata, yang tidak menjadikan khilafiyah furu’iyah (perbedaan cabang) sebagai ajang perpecahan di antara mereka. Namun, yang seperti itu tidak banyak. Kebanyakan umat ini, termasuk didukung oleh sebagian ahli ilmu yang tergelincir dalam bersikap, mereka larut dalam keributan perselisihan fiqih yang berkepanjangan. Mereka tanpa sadar ‘dipermainkan’ oleh emosi dan hawa nafsu. Untuk itulah tulisan ini kami susun. Mudah-mudahan kita bisa meneladani para Imam kaum muslimin, mengetahui kedewasaan mereka, dan sikap bijak dan arif mereka dalam menyikapi perselisihan di antara mereka.

Perlu ditegaskan, yang dimaksud khilafiyah di sini adalah perselisihan fiqih yang termasuk kategori ikhtilaf tanawwu’ (perbedaan variatif), bukan perselisihan aqidah yang termasuk ikhtilaf tadhadh (perselisihan kontradiktif). Untuk perkara aqidah, hanya satu yang kita yakini sebagai ahlul haq dan firqah an najiyah yakni Ahlus Sunnah wal Jamaah. Tidak yang lainnya.

Allah ‘Azza wa Jalla berfirman:

“Dan seandainya Tuhanmu kehendaki, niscaya Dia jadikan manusia itu umat yang satu, tetapi mereka senantiasa berselisih, kecuali yang dirahmati Tuhanmu, dan untuk itulah Dia menciptakan mereka” (QS. Hud: 118-119)

Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata tentang ayat ini, “Allah mengkabarkan bahwa Dia mampu menjadikan manusia seluruhnya satu umat, baik dalam keimanan atau kekufuran, sebagaimana firmanNya yang lain‘Seandainya Tuhanmu kehendaki, niscaya berimanlah semua manusia di bumi’. Lalu firmanNya ‘tetapi mereka senantiasa berselisih, kecuali yang dirahmati Tuhanmu’ artinya perbedaan akan senantiasa terjadi antara manusia, baik tentang agama, keyakinan, millah, madzhab, dan pendapat-pendapat mereka. Berkata Ikrimah,’Mereka berbeda dalam petunjuk’. Berkata Hasan al Bashri, ‘Mereka berbeda dalam hal jatah rezeki, saling memberikan upah satu sama lain’. Yang masyhur dan benar adalah pendapat pertama (pendapat Ikrimah). Dan firman selanjutnya ‘kecuali yang dirahmati Tuhanmu’ artinya kecuali orang-orang yang dirahmati yang mengikuti rasul-rasul dan berpegang teguh kepada perintah-perintah agama, dan seperti itulah kebiasaan mereka hingga masa penutup para nabi dan rasul, mereka mengikutinya, membenarkannya, dan menjadi pembelanya. Maka beruntunglah dengan kebahagiaan dunia dan akhirat karena mereka adalah Firqah an Najiyah (kelompok yang selamat) sebagaimana yang diisyaratkan dalam sebuah hadits musnad dan sunan dari banyak jalur yang saling menguatkan satu sama lain, ‘Sesungguhnya Yahudi berpecah menjadi 71 golongan, dan Nasrani menjadi 72 golongan, dan umat ini akan berpecah menjadi 73 golongan, semua keneraka kecuali satu golongan’, mereka bertanya ‘Siapa mereka ya Rasulullah?’, rasulullah menjawab, ‘Apa-apa yang aku dan sahabatku ada di atasnya’. Diriwayatkan Al Hakim dalam Mustadraknya dengan tambahan ini.” ( Imam Ibnu Katsir, Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, Juz 4, hal. 361-362. Cet. 2, 1999M/1240H. Dar At Thayyibah lin Nasyr wat Tauzi’. Al Maktabah Asy Syamilah)

Imam Ibnu Katsir juga memaparkan perbedaan para ulama dalam memaknai firmanNya “untuk itulah Dia menciptakan mereka”. Imam Hasan al Bashri mengatakan untuk perbedaanlah mereka diciptakan. Ada pun Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhu dan Thawus bin Kaisan mengatakan untuk rahmat-lah mereka diciptakan.

Dalam tafsir At Thabari disebutkan:

قال أبو جعفر : يقول تعالى ذكره: ولو شاء ربك ، يا محمد ، لجعل الناس كلها جماعة واحدة على ملة واحدة ، ودين واحد حدثنا بشر قال ، حدثنا يزيد قال ، حدثنا سعيد، عن قتادة، قولهولو شاء ربك لجعل الناس أمة واحدة) ، يقول: لجعلهم مسلمين كلهم.

Berkata Imam Abu Ja’far Ibnu Jarir Ath Thabari: Allah Ta’ala berfirman: “Dan seandainya Tuhanmu berkehendak, wahai Muhammad, benar-benar seluruh manusia akan dijadikan jamaah yang satu, di atas millah yang satu, dan agama yang satu.” Berkata kepada kami Bisyr, dia berkata, berkata kepada kami Yazid, dia berkata, berkata kepada kami Sa’id, dari Qatadah, tentang firmanNya: “Dan seandainya Tuhanmu bekehendak, manusia benar-benar dijadikan umat yang satu,” dia berkata: Mereka seluruhnya benar-benar dijadikan sebagai muslim. (Imam Abu Ja’far Ath Thabari, Jami’ al Bayan fi Ta’wilil Qur’an, Juz. 15, hal. 531. Cet. 1, 2000M/1420H, Mu’asasah Ar Risalah)

Ayat di atas telah dijelaskan oleh para Imam kita bahwa perbedaan di antara manusia adalah hal yang niscaya, bahkan Imam Hasan al Bashri mengatakan untuk itulah mereka diciptakan. Hanya ahlul haq yakni Ahlus Sunnah wal jamaah yang tetap bersatu, perbedaan di antara mereka tidaklah membuat mereka berpecah hati dan bercerai berai barisan. Sedangkan yang mengaku-ngaku Ahlus Sunnah, namun senantiasa memusuhi saudaranya yang berbeda pemahaman fiqihnya, padahal itu hanyalah khilaf ijtihadiyah belaka, pada hakikatnya bukanlah Ahlus Sunnah.

Dari Irbadh bin Sariyah Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda:

مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ فَسَيَرَى اخْتِلَافًا كَثِيرًا فَعَلَيْكُمْ بِمَا عَرَفْتُمْ مِنْ سُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ الْمَهْدِيِّينَ عَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ

“Barangsiapa di antara kalian yang hidup setelahku, akan melihat banyak perselisihan. Maka hendaknya kalian tetap di atas sunnahku, dan sunnah para khulafa’ur rasyidin yang telah mendapat petunjuk dan gigit dengan geraham kalian.”  (HR. Ibnu Majah No. 42,  Ahmad No. 16521, Al Baihaqi, As Sunan Al Kubra, 10/114, Al Hakim, Al Mustadrak, No. 330 Dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Al Irwa’ No. 2455, Al Misykah No. 165)

Hadits ini menunjukkan bahwa perselisihan pasti terjadi. Solusinya adalah tetap pada sunah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam dan para Khulafa’us Rasyidin Ridhwanullah ‘Alaihim, yakni Ahlus Sunnah wal Jamaah yang sebenar-benarnya..

Bercermin Kepada Para Imam Ahlus Sunnah

لقد كان الخلاف موجودًا في عصر الأئمة المتبوعين الكبار : أبي حنيفة ومالك والشافعي وأحمد والثوري والأوزاعي وغيرهم . ولم يحاول أحد منهم أن يحمل الآخرين على رأيه أو يتهمهم في علمهم أو دينهم من أجل مخالفتهم .

“Telah ada perselisihan sejak lama pada masa para imam besar panutan: Abu Hanifah, Malik, Asy Syafi’i, Ahmad, Ats Tsauri, Al Auza’i, dan lainnya. Tak satu pun mereka memaksa yang lain untuk mengubah agar mengikuti pendapatnya, atau melemparkan tuduhan terhadap keilmuan mereka, atau terhadap agama mereka, lantaran perselisihan itu.” (Dr. Umar bin Abdullah Kamil, Adab Al Hiwar wal Qawaid Al Ikhtilaf, hal. 32. Mauqi’ Al Islam)

Kita akan dapati, ternyata para Imam Ahlus Sunnah sangat bijak dalam menyikapi khilafiyah ijtihadiyah, khususnya dalam keragaman amal syariat. Kenyataan ini sangat berbeda dengan sebagian manusia yang sangat ingin mengikuti mereka, tetapi tidak mampu meneladani akhlak mereka. Mencela dan mensesat-sesatkan sesama muslim menjadi pekerjaan tetap mereka, cuma karena perbedaan furu’. Lucunya lagi adalah mereka bukan ulama, hanyalah thalibul ilmi (penuntut ilmu) yang baru duduk di satu majelis –tanpa mau bermajelis dengan yang lain- tetapi tingkah lakunya seakan ulama besar dan ahli fatwa. Sungguh, mereka baru di tepian pantai, tapi sayangnya berperilaku bagai penjelajah lautan. Mereka baru dipermukaan, tapi sayangnya bertingkah bagai penyelam ulung. Nasihat bagi mereka selalu ditolak, kecuali hanya dari kelompoknya saja. Sungguh, sebenarnya mereka sangat layak dikasihani …

Mereka tidak tahu bahwa kesalahan ijtihad tetap dihargai satu pahala oleh syariat, tetapi justru mereka menghargainya dengan tuduhan ‘sesat’, dan ‘bid’ah.’ Mereka menampilkan Islam dengan wajah yang keras, padahal itu adalah pengaruh dari kepribadian mereka sendiri, bukan Islam.

سفيان الثوري، يقول: إنما العلم عندنا الرخص عن الثقة، فإما التشديد فكل إنسان يحسنه

Berkata Imam Sufyan ats Tsauri, “Bagi kami ilmu hanyalah keringanan dari orang yang bisa dipercaya, adapun bersikap keras, maka setiap manusia mana pun bisa melakukannya.” (Imam Abu Nu’aim Al Asbahany, Hilyatul Auliya’, Juz 3, hal. 133)

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

إِذَا حَكَمَ الْحَاكِمُ فَاجْتَهَدَ ثُمَّ أَصَابَ فَلَهُ أَجْرَانِ وَإِذَا حَكَمَ فَاجْتَهَدَ ثُمَّ أَخْطَأَ فَلَهُ أَجْر

“Jika seorang hakim menetapkan hukum dan benar maka baginya dua pahala, dan jika dia menetapkan hukum dan bersungguh-sungguh (ijtihad), kemudian salah maka baginya satu pahala.” (HR.  Bukhari No. 6919, 7352, Muslim No. 1716, Abu Daud No. 3574.  Ibnu Majah No. 2314, An Nasa’i No. 5381, At Tirmidzi No. 1326,  Ibnu Hibban No. 5060, Ahmad No.17774)

Berkata Dr. Umar bin Abdullah Kamil:

فالاجتهاد إذا كان وفقًا لأصول الاجتهاد ومناهج الاستنباط في علم أصول الفقه يجب عدم الإنكار عليه ، ولا ينكر مجتهد على مجتهد آخر ، ولا ينكر مقلد على مقلد آخر وإلا أدى ذلك إلى فتنة .

“Ijtihad itu, jika dilakukan sesuai dengan dasar-dasar ijtihad dan manhaj istimbat (konsep penarikan kesimpulan hukum) dalam kajian ushul fiqh (dasar-dasar fiqih), maka wajib menghilangkan sikap pengingkaran atas hal ini. Tidak boleh seorang mujtahid mengingkari mujtahid lainnya, dan tidak boleh seorang muqallid (pengekor) mengingkari muqallid lainnya, jika tidak demikian maka akan terjadi fitnah.” (Dr. Umar bin Abdullah Kamil, Adab Al Hiwar wal Qawaid Al Ikhtilaf, hal. 43. Mauqi’ al Islam)

Ya, fitnah dan kekacauan sudah terjadi. Lantaran sikap tidak sopan para muqallidin terhadap adab khilafiyah, dengan cara menyerang pihak lain yang berbeda anutan hasil ijtihad. Padahal mereka hanya pengekor, bukan peneliti.

Pandangan Khalifatur Rasyid Umar bin Abdul ‘Aziz Radhiallahu ‘Anhu

Umar bin Abdul Aziz memiliki pandangan brilian tentang hal ini.

عمر بن عبد العزيز يقول عن اختلاف الصحابة رضي الله عنهم : “ما يسرني أن أصحاب رسول الله صلى الله عليه وسلم لم يختلفوا ، لأنهم لو لم يختلفوا لم يكن لنا رخصة” .

Umar bin Abdul Aziz berkata tentang perbedaan pendapat yang dialami para sahabat, “Tidaklah membahagiakanku kalau para sahabat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tidak berbeda pendapat, karena jika mereka tidak berbeda, maka bagi kita tidak ada rukhshah (keringanan/kemudahan).” (Dr. Umar bin Abdullah Kamil, Ibid, ,hal. 38. Mauqi’ Al Islam)

Dalam Majmu’ Al Fatawa-nya Imam Ibnu Taimiyah, ucapan Umar bin Abdul Aziz agak lebih panjang, yakni ada tambahan:

لِأَنَّهُمْ إذَا اجْتَمَعُوا عَلَى قَوْلٍ فَخَالَفَهُمْ رَجُلٌ كَانَ ضَالًّا وَإِذَا اخْتَلَفُوا فَأَخَذَ رَجُلٌ بِقَوْلِ هَذَا وَرَجُلٌ بِقَوْلِ هَذَا كَانَ فِي الْأَمْرِ سَعَةٌ

“Karena mereka jika bersepakat atas suatu pendapat, maka orang yang berbeda dengan mereka akan tersesat. Jika mereka berbeda pendpat, maka ada orang yang mengambil pendapat ini, ada orang lain yang mengambil pendapat yang lain. Ini adalah urusan yang sangat luas.” (Imam Ibnu Taimiyah, Majmu’ al Fatawa, Juz. 7, hal. 250. Syamilah)

Ya, jika para sahabat selalu sepakat dalam segala hal, maka tidak tersisa peluang bagi generasi selanjutnya untuk berfikir sesuai zamannya. Sebab, mereka adalah teladan, namun kita akan kesulitan jika harus sama dengan mereka dalam segala hal. Dengan adanya perbedaan di antara sahabat, maka mereka telah menanamkan dan mencontohkan pemikiran dinamis bagi generasi selanjutnya.

Pandangan Imam Sufyan Ats Tsauri Radhiallahu ‘Anhu

Imam Abu Nu’aim mengutip ucapan Imam Sufyan Ats Tsauri, sebagai berikut:

سفيان الثوري، يقول: إذا رأيت الرجل يعمل العمل الذي قد اختلف فيه وأنت ترى غيره فلا تنهه.

“Jika engkau melihat seorang melakukan perbuatan yang masih diperselisihkan, padahal engkau punya pendapat lain, maka janganlah kau mencegahnya.” (Imam Abu Nu’aim al Asbahany, Hilyatul Auliya’, Juz. 3, hal. 133)

Pandangan Imam Malik Radhiallahu ‘Anhu

Imam Malik ketika berkata kepada Abu Ja’far, tatkala Ia ingin memaksa semua orang berpegang pada Al Muwatha’ (himpunan hadits karya Imam Malik): “Ingatlah bahwa para sahabat Rasulullah telah berpencar-pencar di beberapa wilayah. Setiap kaum memiliki ahli ilmu. Maka apabila kamu memaksa mereka dengan satu pendapat, yang akan terjadi adalah fitnah sebagai akibatnya.” .(Al Imam Asy Syahid Hasan Al Banna, Majmu’ah Ar Rasail, Mu’tamar Khamis, hal. 187. Al Maktabah At Taufiqiyah)

Pandangan Imam Ahmad bin Hambal Radhiallahu ‘Anhu

Dalam kitab Al Adab Asy Syar’iyyah:

وقد قال أحمد في رواية المروذي لا ينبغي للفقيه أن يحمل الناس على مذهبه . ولا يشدد عليهم وقال مهنا سمعت أحمد يقول من أراد أن يشرب هذا النبيذ يتبع فيه شرب من شربه فليشربه وحده .

“Imam Ahmad berkata dalam sebuah riwayat Al Maruzi (Al Marwadzi), tidak seharusnya seorang ahli fiqih membebani manusia untuk mengikuti madzhabnya dan tidak boleh bersikap keras kepada mereka. Berkata Muhanna, aku mendengar Ahmad berkata, ‘Barangsiapa yang mau minum nabidz (air perasan anggur) ini, karena mengikuti imam yang membolehkan meminumnya, maka hendaknya dia meminumnya sendiri.” (Imam Ibnu Muflih, Al Adab Asy Syar’iyyah, Juz 1, hal. 212. Syamilah)

Para ulama beda pendapat tentang halal-haramnya air perasan anggur, namun Imam Ahmad menganjurkan bagi orang yang meminumnya, untuk tidak mengajak orang lain. Ini artinya Imam Ahmad bersikap, bahwa tidak boleh orang yang berpendapat halal, mengajak-ngajak orang yang berpendapat haram.

Imam Yahya bin Ma’in Rahimahullah

Imam Adz Dzahabi  Rahimahullah berkata tentang Yahya bin Ma’in:

قال ابن الجنيد: وسمعت يحيى، يقول: تحريم النبيذ صحيح، ولكن أقف، ولا أحرمه، قد شربه قوم صالحون بأحاديث صحاح، وحرمه قوم صالحون بأحاديث صحاح.

Berkata Ibnu Al Junaid: “Aku mendengar Yahya bin Ma’in berkata: “Pengharaman nabidz (air perasan anggur) adalah benar, tetapi aku no coment, dan aku tidak mengharamkannya. Segolongan orang shalih telah meminumnya dengan alasan hadits-hadits shahih, dan segolongan orang shalih lainnya mengharamkannya dengan dalil hadits-hadits yang shahih pula.” (Imam Adz Dzahabi, Siyar A’lam an Nubala, Juz. 11, Hal. 88. Mu’asasah ar Risalah, Beirut-Libanon. Cet.9, 1993M-1413H)

Pandangan Imam An Nawawi Rahimahullah

Berkata Imam an Nawawi Rahimahullah:

وَمِمَّا يَتَعَلَّق بِالِاجْتِهَادِ لَمْ يَكُنْ لِلْعَوَامِّ مَدْخَل فِيهِ ، وَلَا لَهُمْ إِنْكَاره ، بَلْ ذَلِكَ لِلْعُلَمَاءِ . ثُمَّ الْعُلَمَاء إِنَّمَا يُنْكِرُونَ مَا أُجْمِعَ عَلَيْهِ أَمَّا الْمُخْتَلَف فِيهِ فَلَا إِنْكَار فِيهِ لِأَنَّ عَلَى أَحَد الْمَذْهَبَيْنِ كُلّ مُجْتَهِدٍ مُصِيبٌ . وَهَذَا هُوَ الْمُخْتَار عِنْد كَثِيرِينَ مِنْ الْمُحَقِّقِينَ أَوْ أَكْثَرهمْ . وَعَلَى الْمَذْهَب الْآخَر الْمُصِيب وَاحِد وَالْمُخْطِئ غَيْر مُتَعَيَّن لَنَا ، وَالْإِثْم مَرْفُوع عَنْهُ

“Dan Adapun yang terkait masalah ijtihad, tidak mungkin orang awam menceburkan diri ke dalamnya, mereka tidak boleh mengingkarinya, tetapi itu tugas ulama. Kemudian, para ulama hanya mengingkari dalam perkara yang disepati para imam. Adapun dalam perkara yang masih diperselisihkan, maka tidak boleh ada pengingkaran di sana. Karena berdasarkan dua sudut pandang setiap mujtahid adalah benar. Ini adalah sikap yang dipilih olah mayoritas para ulama peneliti (muhaqqiq). Sedangkan pandangan lain mengatakan bahwa yang benar hanya satu, dan yang salah kita tidak tahu secara pasti, dan dia telah terangkat dosanya.” (Al Minhaj Syarh Shahih Muslim,  1/131. Mawqi’ Ruh Al Islam)

Jadi, yang boleh diingkari hanyalah yang jelas-jelas bertentangan dengan nash qath’i dan ijma’. Adapun zona ijtihadiyah, maka tidak bisa saling menganulir.

Pandangan Imam Jalaluddin As Suyuthi Rahimahullah

Ketika membahas kaidah-kaidah syariat, Imam As Suyuthi berkata dalam kitab Al Asybah wa An Nazhair:

الْقَاعِدَةُ الْخَامِسَةُ وَالثَّلَاثُونَ ” لَا يُنْكَرُ الْمُخْتَلَفُ فِيهِ ، وَإِنَّمَا يُنْكَرُ الْمُجْمَعُ عَلَيْهِ

Kaidah yang ke-35, “Tidak boleh ada pengingkaran terhadap masalah yang masih diperselisihkan. Seseungguhnya pengingkaran hanya berlaku pada pendapat yang bertentangan dengan ijma’ (kesepakatan) para ulama.” (Imam As Suyuthi, Al Asybah wa An Nazhair, Juz 1, hal. 285. Syamilah)

Pandangan Imam Ibnu Taimiyah Rahimahullah

Dia adalah imam yang sangat keras terhadap bid’ah, khurafat, dan syirik. Namun, ia sangat bijak terhadap perselisihan fiqih. Beliau berkata:

وَكَذَلِكَ الْقُنُوتُ فِي الْفَجْرِ إنَّمَا النِّزَاعُ بَيْنَهُمْ فِي اسْتِحْبَابِهِ أَوْ كَرَاهِيَتِهِ وَسُجُودِ السَّهْوِ لِتَرْكِهِ أَوْ فِعْلِهِ وَإِلَّا فَعَامَّتُهُمْ مُتَّفِقُونَ عَلَى صِحَّةِ صَلَاةِ مَنْ تَرَكَ الْقُنُوتَ وَأَنَّهُ لَيْسَ بِوَاجِبِ وَكَذَلِكَ مَنْ فَعَلَهُ

“Demikian juga qunut subuh, sesungguhnya perselisihan di antara mereka hanyalah pada istihbab-nya (disukai) atau makruh (dibenci). Begitu pula sujud sahwi karena meninggalkannya atau melakukannya, jika pun tidak, maka kebanyakan mereka sepakat atas sahnya shalat yang meninggalkan qunut, karena itu bukanlah wajib. Demikian juga orang yang melakukannya (qunut, maka tetap sah shalatnya –pen).” (Imam Ibnu Taimiyah, Majmu’ al Fatawa, Juz. 5, hal. 185. Mauqi’ al Islam. Al Maktabah Asy Syamilah)

Inilah bijaknya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, walau di akhir pembahasannya ia menguatkan pendapat TIDAK BERQUNUT, tetapi dia tidak mencap sesat atau marah-marah dengan yang melakukannya. Bahkan, beliau tidak mengatakannya bid’ah sebagaimana yang biasa dikira sebagian orang terhadapnya. Memang, kalangan hanafiyah membid’ahkannya.

Di kitabnya yang sama, dalam tema Kesatuan Milah dan Keragaman Syariat ia berkata:

“Pokok-pokok dari Al-Qur’an, As-Sunnah dan Ijma’ adalah seperti kedudukan agama yang dimiliki oleh para nabi. Tidak seorangpun yang boleh keluar darinya, dan barangsiapa yg masuk ke dalamnya maka ia tergolong kepada ahli Islam yg murni dan mereka adalah Ahlu Sunnah wal Jama’ah. Adapun bervariasinya amal dan perkataan dalam syariat adalah seperti keragaman syariat diantara masing-masing Nabi. Perbedaan ini terkadang bisa pada perkara yang wajib, terkadang bisa juga pada perkara yg sunnah.”

Beliau Rahimahullah berkata: “Sesungguhnya masalah-masalah rinci dalam perkara ushul tidak mungkin disatukan di antara kelompok orang. Karena bila demikian halny tentu tidak mungkin para sahabat, tabi’in, dan kaum salaf berselisih.” (Imam Ibnu Taimiyah, Majmu’ al Fatawa, Juz 6, hal. 56)

Katanya lagi: “Ketika perluasan aktifitas dan penganekaragaman furu’nya semakin dituntut maka sebagai akibatnya adalah munculnya perselisihan pendapat sesuai yang cocok jiwa masing-masing pembelanya.” (Imam Ibnu Taimiyah, Ibid, Juz. 6, hal. 58)

Ia juga berkata: “Adapun manusia yang cenderung kepada pendapat salah seorang imam atau syaikh sesuai ijtihadnya. Sebagaimana perbedaan mana yang lebih afdhal antara adzan dengan tidak adzan, dalam qamat ifrad (dibaca sekali) atau itsna (dibaca dua kali), shalat fajar itu di akhir malam atau di saat fajar, qunut subuh atau tidak, bismillah dikeraskan atau dipelankan, dan seterusnya, adalah merupakan masalah ijtihadiyah yang juga diperselisihkan para imam-imam salaf. Dan masing-masing mereka menetapkan keputusan ijtihad yang lain.” (Imam Ibnu Taimiyah, Ibid, Juz, 20. hal. 292)

Beliau juga berkata: “Ijtihad para ulama dalam masalah hokum itu seperti ijtihadnya orang yang menentukan arah kiblat. Empat orang melaksanakan shalat dan masing-masing orang menghadap kea rah yang berbeda dengan lainnya dan masing-masing meyakini bahwa kiblat ada di arah mereka. Maka shalat keempat orang itu benar adanya, sedangkan shalat yang tepat mengahdap kiblat, dialah yang mendapat dua pahala.” (Imam Ibnu Taimiyah, Ibid, Juz, 20, hal. 224)

Lihat! Imam Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa ijtihad bisa jadi benar semua, yang ada adalah yang benar dan lebih benar, mafdhul (tidak utama) dan afdhal (tidak utama). Ya, sangat berbeda antara beliau dengan orang yang mengaku-ngaku mengikuti madrasah pemikiran beliau. Tenggang rasa Ibnu Taimiyah tidak berhasil diikuti oleh orang-orang keras yang mengaku mengikutinya, yang selalu memaksakan pendapatnya kepada orang lain..

Dia juga berkata: “Sedangkan perkataan dan amal yang tidak diketahui secara pasti (qath’i) bertentangan dengan Kitab dan Sunnah, namun termasuk lingkup perbincangan ijtihad para ahli ilmu dan iman, bisa jadi dianggap qath’i oleh sebagian yang lain yang telah mendapat cahaya petunjuk dari Allah Ta’ala. Namun demikian dia tidak boleh memaksakan pendapatnya itu kepada orang lain yang belum mendapatkan apa yang dia inginkan itu.” (Imam Ibnu Taimiyah, Ibid, Juz,1. hal. 383-384)

Jadi, setelah anda mengakui satu pendapat fiqih yang benar, maka peganglah baik-baik, namun jangan paksakan kepada orang lain. Karena masalah ini sangat luas dan lentur terjadi perbedaan:

“Sesungguhnya perbedaan mengenai dalalah lafal dan penetapan salah satunya itu bagaikan samudera yang luas.” (Imam Ibnu Taimiyah, Raf’ul Malam, hal. 25)

Imam Hasan Al Banna Rahimahullah

Al Ustadz Hasan al Banna mengomentari perselisihan fiqih dalam umat Islam  pada risalah Da’watuna:

ونحن مع هذا نعتقد أن الخلاف في فروع الدين أمر لا بد منه ضرورة، ولا يمكن أن نتحد في هذه الفروع والآراء والمذاهب لأسباب عدة: منها اختلاف العقول في قوة الاستنباط أو ضعفه، وإدراك الدلائل والجهل بها والغوص على أعماق المعاني، وارتباط الحقائق بعضها ببعض، والدين آيات وأحاديث ونصوص يفسرها العقل والرأي في حدود اللغة وقوانينها، والناس في ذلك جد متفاوتين فلا بد من خلاف.

ومنها سعة العلم وضيقه، وإن هذا بلغه ما لم يبلغ ذاك والآخر شأنه كذلك، وقد قال مالك لأبي جعفر: إن أصحاب رسول الله صلى الله عليه وسلم تفرقوا في الأمصار وعند كل قوم علم، فإذا حملتهم على رأي واحد تكون فتنة.

ومنها اختلاف البيئات حتى أن التطبيق ليختلف باختلاف كل بيئة، وإنك لترى الإمام الشافعي رضي الله عنه يفتي بالقديم في العراق ويفتي بالجديد في مصر، وهو في كليهما آخذ بما استبان له وما اتضح عنده لا يعدو أن يتحرى الحق في كليهما.

ومنها اختلاف الاطمئنان القلبي إلى الرواية عند التلقين لها، فبينما نجد هذا الراوي ثقة عند هذا الإمام تطمئن إليه نفسه وتطيب بالأخذ به، تراه مجروحا عند غيره لما علم عن حاله.

ومنها اختلاف تقدير الدلالات فهذا يعتبر عمل الناس مقدما على حبر الآحاد مثلا، وذاك لا يقول معه به، وهكذا..

“Dalam hal ini, kami meyakini bahwa perselisihan dalam cabang (furu’) agama adalah hal yang niscaya, tidak mungkin kita bisa menyatukan pandangan dan madzhab dalam masalah furu’, disebabkan beberapa hal:

Di antaranya adalah perbedaan kemampuan akal dalam mengistimbath dan dalam memahami dalalah hadits. Dan juga perbedaan dalam kemampuan menyelami makna dan hubungan antara hakikat satu dengan yang lainnya.

Juga perbedaan wawasan keilmuan. Seseorang memiliki wawasn yang tidak dimiliki orang lain. Berkata Imam Malik kepada Abu Ja’far: Sesungguhnya sahabat Rasulullah telah berpencar-pencar tempatnya. Masing-masing kaum memiliki ahli ilmu. Karena itu, jika dipaksakan dengan satu pendapat maka akn timbul fitnah.

Juga perbedaan lingkungan. Hal ini menjadikan praktek hukum di satu wilayah berbeda dengan wilayah lainnya. Kita lihat bagaimana Imam Asy Syafi’i berfatwa dengan qaul qadim di Irak, ketika pindah ke Mesir beliau berfatwa dengan qaul jadid. Masing-masing fatwa itu disampaikan berdasarkan pada apa yang mereka ketahui sampai saat fatwa itu dikeluarkan.

Hal lain adalah perbedaan kepuasan terhadap suatu riwayat hadits ketika diterima. Kita kadang mendapatkan suatu hadits dianggap tsiqah oleh seorang imam dan dia merasa puas dengannya sementara yang lain tidak melihat demikian karena sebab-sebab yang dia ketahui.

Bisa juga karena perbedaan dalam menakar kadar dalalah. Misalnya, yang satu mengatakan perbuatan orang didahulukan atas khabar ahad, sementara yang lain tidak mengatakan demikian, dan demikian seterusnya.” (Al Imam Asy Syahid Hasan al Banna, Majmu’ah ar Rasail, Bab Da’watuna, hal. 25-26. Al Maktabah at Taufiqiyah)

Lalu beliau melanjutkan:

كل هذه أسباب جعلتنا نعتقد أن الإجماع على أمر واحد في فروع الدين مطلب مستحيل، بل هو يتنافى مع طبيعة الدين، وإنما يريد الله لهذا الدين أن يبقى ويخلد ويساير العصور، ويماشي الأزمان، وهو لهذا سهل مرن هين، لين، لا جمود فيه ولا تشديد.

“Bahwa sebab-sebab itu membuat kita berkeyakinan bahwa upaya penyatuan dalam masalah furu’ adalah pekerjaan mustahil, bahkan bertentangan dengan tabiat agama ini. Allah menghendaki agar agama ini tetap terjaga dan abadi, dan dpat mengiringi kemajuan zaman. Untuk itu agama ini harus muncul dalam warna yang mudah, fleksibel dan lentur, tidak jumud atau keras.” (Idem, hal. 26)

Dalam Risalah Al Khamis  beliau berkata:

فأما البعد عن مواطن الخلاف الفقهي فلأن الإخوان يعتقدون أن الخلاف في الفرعيات أمر ضروري لابد منه، إذ إن أصول الإسلام آيات وأحاديث وأعمال تختلف في فهمها وتصورها العقول و الأفهام ، لهذا كان الخلاف واقعاً بين الصحابة أنفسهم ومازال كذلك، وسيظل إلى يوم القيامة، وما أحكم الإمام مالك ـ رضي الله عنه ـ حين قال لأبي جعفر وقد أراد أن يحمل الناس على الموطأ: “إن أصحاب رسول الله ص تفرقوا في الأمصار وعند كل قوم علم، فإذا حملتهم على رأي واحد تكون فتنة”، وليس العيب في الخلاف ولكن العيب في التعصب للرأي والحجر على عقول الناس وآرائهم، هذه النظرة إلى الأمور الخلافية جمعت القلوب المتفرقة على الفكرة الواحدة، وحسب الناس أن يجتمعوا على ما يصير به المسلم مسلماً كما قال زيد ـ رضي الله عنه

“Adapun mengenai penghindaran Ikhwan dari khilaf masalah fiqih, karena Ikhwan meyakini bahwa khilaf dalam masalah furu’ merupakan masalah yang mesti terjadi. Hal itu karena dasar-dasar Islam dibangun dari ayat-ayat, hadits-hadits dan amal, yang kadang difahami beragam oleh banyak pikiran. Karena itu, maka perbedaan pendapat tetap terjadi pada masa sahabat dulu. Kini masih terjadi dan akan terus terjadi sampai hari kiamat. Alangkah bijaknya Imam Malik ketika berkata kepada Abu Ja’far, tatkala “Ia ingin memaksa semua orang berpegang pada Al Muwatha’ (himpunan hadits karya Imam Malik): Ingatlah bahwa para sahabat Rasulullah telah berpencar-pencar di beberapa wilayah. Setiap kaum memiliki ahli ilmu. Maka apabila kamu memaksa mereka dengan satu pendapat, yang akan terjadi adalah fitnah sebagai akibatnya.”

Bukanlah aib dan cela manakala kita berbeda pendapat. Tetapi yang aib dan cela adalah sikap fanatik (ta’ashub) dengan satu pendapat saja dan membatasi ruang lingkup berpikir manusia. Menyikapi khilafiyah seperti inilah yang akan menghimpun hati yang bercerai berai kepada satu pemikiran. Cukuplah manusia itu terhimpun atas sesuatu yang menjadikan seorang muslim adalah muslim, seperti yang dikatakan oleh Zaid Radhiallahu ‘Anhu.(Imam Syahid Hasan Al Banna, Majmu’ah Ar Rasail, Mu’tamar Khamis, hal. 187)

Demikian. Kami kira pandangan jernih dari para imam ini sudah cukup mengajarkan kita agar dewasa, elegan, dan bijak dalam menghadapi khilafiyah. Para imam adalah pemandu kita, kalau bukan mengikuti mereka, siapa lagi yang kita ikuti. Emosi dan hawa nafsu?

Wallahu A’lam wa Lillahil ‘Izzah