Home AKHLAK & ADAB

Mencela Israel= Mencela Nabi Ya’qub ‘Alaihissalam?

845
SHARE
Mukadimah

Ketika sedang panasnya kondisi Timur Tengah, akibat penyerangan negeri Zionis Yahudi menyerang Gaza, dunia internasional mengutuk negara tersebut. Tentunya juga kaum muslimin, dan mereka lebih berhak untuk mengutuknya. Namun, di tengah panasnya kondisi saat itu, timbul pernyataan yang nampaknya melawan arus yang datangnya dari dalam tubuh umat Islam sendiri, mereka mengecam orang-orang yang ‘mengecam’ Israel, dengan alasan Israel adalah nama lain dari Nabi Ya’qub ‘Alaihissalam, maka mengecam Israel sama juga, paling tidak seolah-olah mengecam Nabi Ya’qub ‘Alaihissalam. Ini, bukan hanya sekali mereka seperti itu. Mulai dari penentangan terhadap boikot produk Israel dan Amerika. Mengecam aksi istisyhadiyah para mujahidin Palestina. Menjelek-jelekkan HAMAS, dan sekarang, mereka menentang dunia Islam  yang sedang mengecam ‘Israel’, karena Israel adalah Nabi Ya’qub!

Benarkah anggapan mereka ini?

Istilah ‘Israel’ Dahulu dan Sekarang

Israel adalah nama lain dari Nabi Ya’qub ‘Alaihissalam adalah BENAR. Hal ini telah disepakati oleh para imam kaum muslimin dari zaman ke zaman.

Imam Ibnu Katsir berkata dalam tafsirnya:

{ ذُرِّيَّةَ مَنْ حَمَلْنَا مَعَ نُوحٍ إِنَّهُ كَانَ عَبْدًا شَكُورًا } [الإسراء: 3] فإسرائيل هو يعقوب عليه السلام، بدليل ما رواه أبو داود الطيالسي: حدثنا عبد الحميد بن بهرام، عن شهر بن حَوشب، قال: حدثني عبد الله بن عباس قال: حضرت عصابة من اليهود نبي الله صلى الله عليه وسلم فقال لهم: “هل تعلمون أن إسرائيل يعقوب؟”. قالوا: اللهم نعم. فقال النبي صلى الله عليه وسلم: “اللهم اشهد

Allah Ta’ala berfirman: [yaitu] anak cucu dari orang-orang yang Kami bawa bersama-sama Nuh. Sesungguhnya Dia adalah hamba (Allah) yang banyak bersyukur. [Q.S. Al Isra’ [17]: 3]. Maka, Israil, dia adalah Ya’qub ‘Alaihissalam. Dalilnya adalah telah diriwayatkan oleh Abu Daud Ath Thayalisi: telah berkata kepada kami Abdul Hamid bin Bahram dari Syahr bin Hausyab dia berkata: telah berkata kepadaku Abdullah bin Abbas dia berkata: “Sekelompok Yahudi telah hadir di hadapan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Maka Nabi bertanya kepada mereka: “Apakah kalian tahu bahwa Israil itu adalah Ya’qub?” Mereka menjawab: “Ya Allah, benar!” lalu Nabi bersabda: “Ya Allah Saksikanlah!” (Tafsir Al Quran Al ‘Azhim, 1/241)

Inilah fakta sejarah yang tidak bisa diingkari oleh siapa pun. Namun, kita juga melihat ada fakta sejarah di zaman modern, dan ini pun tidak bisa diingkari oleh siapa pun juga, bahwa ada sebuah Negara yang bernama ISRAEL sejak awal berdirinya, terlepas dari apa di balik motivasi mereka menggunakan nama itu.

Hal ini sama halnya dengan dua orang yang berbeda tetapi memiliki nama yang sama. Misal, adanya fakta sejarah bahwa  dahulu ada seorang nabi mulia dan menjadi penghulu para Nabi, dan dia dijuluki Al Amin. Belakangan, di zaman modern ada seorang koruptor bernama Al Amin juga,  sehingga manusia saat ini menyebutnya: Al Amin sang koruptor! Nah, siapakah Al Amin yang dimaksud oleh mereka ini? Apakah ini adalah Al Amin julukan Nabi mulia tersebut? Tentu bukan. Al Amin di sini sesuai konteks dan maksud mereka adalah Al Amin yang telah melakukan kejahatan korupsi. Hal ini, sama sekali tidaklah salah menurut syariat.

Faktanya pula, para ulama hadits sering melakukan celaan kepada sebagian perawi hadits seperti sebutan Al Kadzdzab (pendusta), matrukul hadits (haditsnya ditinggalkan), munkarul hadits (haditsnya munkar), dan lainnya, yang bisa jadi di antara nama perawi tersebut kebetulan sama dengan nama para nabi. Nah, apakah ini dengan mudahnya disimpulkan bahwa para ahli hadits telah mencela para nabi? Tentu tidak, bahkan menyimpulkan seperti itu menunjukkan betapa kurang cerdasnya kita. Sebab yang mereka cela adalah para perusak hadits, yang –qadarallah– nama mereka sama dengan nama para nabi.

Selain itu, para ulama sering menggunakan istilah Israiliyat untuk riwayat-riwayat yang dianggap berasal atau pengaruh dari ajaran Yahudi yang menyusup ke dalam kitab-kitab para ulama Islam. Mereka tidak menyebut riwayat Yahudiyat. Namun demikian, istilah Israiliyat ini oleh para ulama tidak ada yang mengartikan kisah yang berasal dari Nabi Ya’qub.

Oleh karena itu, ketika banyak manusia mencela Negara Israel lantaran kekejaman mereka terhadap umat Islam, dengan berbagai kecaman dan kalimat seperti, misal: Israel the Real Terrorist, Go To Hell Israel, dan lainnya, hal ini tidak bisa disalahkan, sebab yang mereka maksud dari ucapan ini, -dan ini pun telah maklum dan masyhur- bahwa Israel ini adalah nama negara yang didirikan oleh Yahudi. Tak terpikir oleh mereka, juga oleh orang yang mendengarkannya, ketika mengucapkan kalimat itu adalah untuk mencela Nabi Ya’qub ‘Alaihissalam. Amatlah  simplistis menyalahkan hal tersebut, hanya karena nama Israel –dahulu- adalah nama seorang rasul yang mulia Nabi Ya’qub ‘Alaihissalam.

Menilai Sesuatu Tergantung Maksud dari Sesuatu Tersebut

Sesungguhnya para ahli ushul telah membuat kaidah agung, yang dijadikan salah satu variabel untuk menentukan dan memutuskan bahwa satu perbuatan itu halal atau haram, benar atau salah. Imam Tajjuddin As Subki, dalam kitab Al Asybah wan Nazhair telah menulis kaidah yang kelima:

الأمور بمقاصدها

“Perkara dinilai tergantung maksud-maksudnya.” (Al Asybah wan Nazhair, 1/65. Darul Kutub Al ‘Ilmiyah)

Beliau –Rahimahullah– menyebutkan bahwa kaidah ini didasari hadits Nabi ﷺ yang sangat masyhur yakni:

إنما الأعمال بالنيات وإنما لكل امرىء ما نوى

“Sesungguhnya, amal perbuatan tergantung niatnya, setiap orang akan mendapat balasan sesuai sesuai dengan apa yang diniatkannya.” (H.R. Bukhari No. 1 dan Muslim No. 1907)

Hadits ini terdapat pelajaran yang penting bagi kita untuk menentukan nilai sebuah perbuatan. Jika ada seorang memotong ayam dengan tujuan memberikan makan kepada anak dan istri, sebagai bukti tanggung jawab seorang suami maka ini adalah perbuatan yang bisa dinilai ibadah. Di tempat lain, ada orang   yang memotong ayam dengan maksud untuk sesajen maka ini adalah syirik. Dua orang ini melakukan perbuatan yang sama, namun bernilai beda menurut syariat, lantaran niat dan maksudnya yang berbeda pula. Oleh karena itu, ketika ada orang mencela ISRAEL, dengan maksud adalah nama sebuah negara penjajah nan kejam, bukan dimaksud nama seorang nabi, maka dia akan dinilai sesuai maksudnya itu.

Kata Innama dalam hadits ini sebagaimana dijelaskan oleh para pensyarah Al Arba’in An Nawawiyah, seperti Imam Ibnu Daqiq Al ‘Id, Syaikh Ismail Al Anshari, Syaikh Ibnu ‘Utsaimin, adalah berfungsi untuk pembatasan (Lil Hashr). Artinya, “Sesungguhnya amal itu hanyalah tergantung apa yang diniatkannya …” Sehingga, balasan yang diperolehnya terbatas pada apa yang diniatkannya, bukan selainnya.

Niat [An Niyah] –  kata Syaikh Ibnu ‘Utsaimin- adalah Al Qashdu [maksud]. (Syaikh Ibnu ‘Utsaimin, Syarh Al Arba’in An Nawawiyah, Hal. 5. Mawqi’ Ruh Al Islam)

Syaikh Al ‘Allamah Muhammad Ismail Al Anshari berkata:

فمن نوى شيئا لم يحصل له غيره

“Maka, barang siapa yang berniat sesuatu, maka tidaklah dia mendapatkan selain apa yang diniatkan itu.” (Syaikh Muhammad Ismail Al Anshari, At Tuhfah Ar Rabbaniyah fi Syarh Al Arba’in An Nawawiyah, Hadits No. 1. Maktabah Misyhkah)

Imam Abul Hasan Muhammad bin Abdil Hadi As Sindi mengatakan:

أن ليس للفاعل من عمله إلا نيته أي الذي يرجع إليه من العمل نفعاً أو ضراً هي النية

“Bahwa, tidaklah bagi seorang pelaku perbuatan melainkan mendapat balasan sesuai niatnya, yaitu  tempat kembalinya nilai sebuah amal, baik manfaat atau mudharatnya adalah niatnya.” (Hasyiyah As Sindi ‘ala Shahih Al Bukhari, 1/7. Darul Fikr)

Maka dari itu, para ulama menetapkan bahwa seseorang yang sudah berniat untuk batal puasa, walaupun sampai Maghrib dia belum makan minum sama sekali, dia dinilai telah batal puasanya, karena faktor niatnya itu sebagaimana yang diterangkan oleh Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah dalam Fiqhus Sunnah.

Ketetapan Hukum Dilihat dari Pengertian yang Faktual

Inilah yang harus dimengerti dengan baik, agar kita tidak terburu-buru memberikan vonis. Saya akan memberikan beberapa contoh. Kita mengetahui bahwa buah anggur adalah halal dan thayyib. Namun, ketika dia diubah menjadi khamr, maka kita tidak menilainya ‘dahulu’ ketika masih anggur. Fiqih menilainya menurut apa yang ada saat ini, yakni dia adalah khamr yakni haram.

Memelihara kucing, kura-kura atau biawak adalah boleh-boleh saja, tetapi ketika hewan-hewan ini disiram air keras, sehingga dia membeku dan berubah menjadi patung, maka hukumnya pun bukan ‘dahulu’ ketika masih menjadi hewan riil. Hukumnya adalah hukum patung, karena itulah keadaan mereka saat sekarang, yakni haram memiliki patung makhluk bernyawa di rumah seorang muslim.

Begitu pula dalam hal ini, sejarah klasik menyebutkan bahwa Israel adalah nama lain dari Nabi Ya’qub ‘Alaihissalam, dan sampai saat ini pun kita mengakuinya. Namun, fakta hari ini terbentang begitu jelas, bahwa Israel yang ada saat ini adalah nama dari sebuah negara yang ditempati oleh bangsa Yahudi. Dan pengertian inilah yang langsung terbetik manusia ketika mendengar kata ISRAEL. Maka, pengertian faktual inilah yang menjadi pertimbangan dan pengikat dalam menilainya. Sehingga, mencela Israel bukanlah berpengertian mencela Nabi Ya’qub ‘Alaihissalam, melainkan secara faktual adalah mencela Negara Zionis Yahudi bernama Israel.

Sebaiknya…

Setelah kita mengetahui, bahwa secara syar’i tidak mengapa menyebut Israel bagi sebuah negara jahat dan penjajah itu, karena itulah yang faktual menurut dokumen modern dan yang difahami oleh seluruh manusia. Sebagaimana kita boleh memanggil seorang penjahat yang bernama Muhammad dengan panggilan ‘Muhammad’ pula , karena memang itulah nama yang sesuai dengan akta, KTP, dan dokumen pribadinya yang dikenal oleh manusia.

Namun, demikian sebaiknya kita perkenalkan kepada masyarakat khususnya umat Islam, bahwa bangsa Zionis Yahudi tidaklah pantas menyandang nama Israel karena perilakunya yang teramat buruk. Di sisi lain kita memperkenalkan, bahwa Israel adalah nama Nabi yang mulia, Ya’qub ‘Alaihissalam, yang coba untuk dirusak oleh sebuah negara yang mencatut namanya menjadi nama negara tersebut.

Demikian. Wallahu A’lam.

Ustadz Farid Nu’man Hasan Hafizhahullah