Home KONSULTASI SYARIAH

Menyoal Doa Khatam Al Quran

937
SHARE
Menyoal Doa Khatam Al Quran

Pertanyaan:

Ustadz, saya mau tanya. Bagaimanakah hukum membaca do’a khatam Al Qur’an? Jazaakallahu khair, Ustadz. (Susanto)

Jawaban Ustadz Farid Nu’man Hasan Hafizhahullah:

Bismillah wal Hamdulillah wash Shalatu was Salamu ‘Ala Rasulillah wa ‘Ala Aaalihi wa Shahbihi wa man waalah, wa ba’d.

Berdoa setelah khatmul qur’an telah menjadi tradisi para salaf dan sebagian ahli fiqih, bukan hanya itu mereka mengumpulkan keluarga, lalu berdoa. Diriwayatkan secara shahih, sebagai berikut:

عن ثابت قال: ” كان أنس إذا ختم القرآن جمع ولده وأهل بيته فدعا لهم “.

Dari Tsabit Al Bunani, dia berkata: “Dahulu Anas, jika dia mengkhatamkan Al Quran maka dia mengumpulkan anak-anaknya dan keluarganya, lalu dia berdoa untuk mereka.” (Lihat Sunan Ad Darimi No. 3517, Dishahihkan oleh Syaikh Husain Salim Asad Ad Darani dalam tahqiqnya terhadap As Sunan Ad Darimi, juga Syaikh Al Albani dalam Jaami’ Shahih Al Adzkar, 2/6)

Bukan hanya itu, sebagian ulama ada yang menganjurkan menghidangkan makanan sebagai ekspresi bahagia dan rasa syukur.

Berikut ini keterangan dari Imam Ibnu Hajar Al Haitami Rahimahullah:

صَرَّحَ أَصْحَابُنَا بِأَنَّ مَا يُجْعَلُ مِنْ الطَّعَامِ عِنْدَ خَتْمِ الْقُرْآنِ سُنَّةٌ قِيَاسًا عَلَى بَقِيَّةِ الْوَلَائِمِ الْمَسْنُونَةِ بِجَامِعِ السُّرُورِ وَإِظْهَارِ الشُّكْرِ عَلَى هَذِهِ النِّعْمَةِ الْعَظِيمَةِ وَكَفَى بِذَلِكَ دَلِيلًا عَلَى نَدْبِ مَا ذُكِرَ وَلَا أَحْفَظُ فِي ذَلِكَ بِخُصُوصِهِ شَيْئًا مِنْ الْأَخْبَارِ وَالْآثَارِ إلَّا مَا نُقِلَ عَنْ عُمَرَ – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ – أَنَّهُ لَمَّا خَتَمَ الْبَقَرَةَ ذَبَحَ بَدَنَةً

Para sahabat kami (Syafi’iyah) menjelaskan tentang makanan yang dihidangkan ketika khatam Al Quran merupakan sunnah, hal itu diqiyaskan dengan pesta-pesta yang disunnahkan dengan menghimpun berbagai kebahagiaan dan menampakkan rasa syukur atas nikmat besar ini. Cukuplah itu menjadi dalil atas sunnahnya apa yang disebutkan itu, dan aku tidak ketahui adanya khabar dan atsar khusus tentang itu, kecuali apa yang dinukil dari Umar Radhiallahu ‘Anhu bahwa beliau ketika khatam membaca Al Baqarah, beliau menyembelih unta. (Al Fatawa Al Fiqhiyah Al Kubra, 3/43)

Berdoa setelah khatam Al Quran juga dilakukan segolongan fuqaha, hanya saja, tidak ada riwayat shahih tentang fadhilah khusus berdoa setelah khatam Al Quran. Juga tidak ada yang shahih tentang jenis doa apa setelah khatam Al Quran itu.

Syaikh Hamd bin Naashir bin ‘Utsman bin Ma’mar Al Hambali Rahimahullah menjelaskan, sebagai berikut:

وأما الدعاء عند ختم القرآن، فروي عن أنس رضي الله عنه أنه كان يجمع أهله وولده، ويدعو عند ختم القرآن. وروي عن طائفة من السلف، وهو قول غير واحد من الفقهاء. وأما تعيين الدعاء فلم يثبت فيه دعاء مخصوص، ولهذا لم يستحبه بعض الفقهاء؛ قال: لأنه لم يرد فيه سنة عن رسول الله -صلى الله عليه وسلم.

Adapun berdoa ketika khatam Al Quran, maka diriwayatkan dari Anas Radhiallahu ‘Anhu bahwa beliau mengumpulkan keluarga dan anaknya, dia berdoa ketika khatam Al Quran. Dan diriwayatkan dari sekelompok kaum salaf, dan ini merupakan  perkataan lebih dari satu ahli fiqih. Adapun tentang spesifiknya doa, tidak ada yang shahih tentang doa khususnya, oleh karena itu sebagian ahli fiqih tidak menyunnahkannya, alasannya karena tidak ada sunnah yang berasal dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. (‘Uddah Rasaail fi Masaail Al Fiqhiyah, Hal. 40)

Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baaz Rahimahullah mengatakan bahwa berdoa setelah khatam Al Quran adalah sunnah, berikut ini keterangannya:

ليس من البدع، بل هو مستحب وسنة، فعله السلف، وفعله بعض أصحاب النبي صلى الله عليه وسلم، بعد ختم القرآن يدعو بالدعوات الطيبة، سواء في التراويح أو في غيرها، وإذا ختم الإنسان القرآن في أي وقت دعا؛ سواء في الصلاة، أو في خارج الصلاة، وترجى الإجابة، وكان هذا من فعل السلف، وهو ما روي عن جماعة من الصحابة، فلا حرج في ذلك، بل هو مطلوب ومشروع، وفيه خير كثير، نسأل الله أن يتقبل من المسلمين.

Itu bukan bid’ah, bahkan itu sunnah yang disukai, hal itu dilakukan oleh para salaf, juga sebagian sahabat Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, bahwa setelah mengkhatamkan Al Quran mereka berdoa dengan doa-doa yang baik, sama saja apakah setelah khatam dalam shalat Tarawih atau selainnya, dan jika manusia mengkhatamkan Al Quran di waktu kapan pun, sama saja apakah di dalam shalat atau di luar shalat, dia mengharapkan doanya diijabah, maka ini merupakan perilaku salaf, dan itu diriwayatkan dari jamaah para sahabat, maka itu tidak apa-apa, bahkan diperintahkan syariat dan di dalamnya terdapat kebaikan yang banyak. Kita memohon kepada Allah semoga menerima doa kaum muslimin. (Fatawa Nur ‘Alad Darb, 10/13)

Kesimpulannya adalah:

– Berdoa setelah khatam Al Quran adalah boleh menurut sebagian ulama, bahkan sunnah bagi ulama lainnya, dan telah dilakukan oleh para salaf sejak masa sahabat dan setelahnya.

– Tidak ada keterangan yang shahih tentang fadhilah berdoa setelah khatam Al Quran.

Sebagai contoh:

مَنْ صَلَّى صَلَاةَ فَرِيضَةٍ فَلَهُ دَعْوَةٌ مُسْتَجَابَةٌ، وَمَنْ خَتَمَ الْقُرْآنَ فَلَهُ دَعْوَةٌ مُسْتَجَابَةٌ

Barang siapa yang shalat yaitu shalat fardhu maka dia memiliki doa yang mustajab, dan barang siapa yang mengkhatamkan Al Quran maka dia memiliki doa yang mustajab.

Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Ath Thabarani dalam Al Mu’jam Al Kabir No. 647, Imam Alauddin Al Muttaqi Al Hindi dalam Kanzul ‘Ummal No. 3327, dengan sanad:

Al Fadhl bin Harun Al Baghdadi, Ismail bin Ibrahim At Turjumani, Abdul Hamid bin Sulaiman, Abu Hazim, ‘Irbadh bin Sariyah, dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.

Hadits ini didhaifkan para ulama, di antaranya Imam Al Haitsami, Beliau berkata: “Pada hadits ini terdapat Abdul Hamid bin Sulaiman, dan dia dhaif.” (Majma’uz Zawaid, 7/172)

Para imam  telah mendhaifkan Abdul Hamid bin Sulaiman ini, seperti Abu Daud, An Nasa’i, Ad Daruquthni, Ibnu Ma’in, Ya’qub bin Sufyan, Ali bin Al Madini, dan Al Hakim. (Tahzibut Tahzib, 6/116)

Syaikh Al Albani mendhaifkan hadits ini dalam berbagai kitabnya. (As Silsilah Adh Dhaifah No. 3014, Shahihul Jami’ No.  5666)

Contoh hadits yang lain:

مَنْ خَتَمَ الْقُرْآنَ أَوَّلَ النَّهَارِ صَلَّتْ عَلَيْهِ الْمَلَائِكَةُ حَتَّى يُمْسِيَ، وَمَنْ خَتَمَهُ آخِرَ النَّهَارِ صَلَّتْ عَلَيْهِ الْمَلَائِكَةُ حَتَّى يُصْبِحَ

Barang siapa yang mengkhatamkan Al Quran pada awal siang maka malaikat akan bershalawat kepadanya sampai sore, dan barang siapa yang mengkhatamkannya pada akhir siang maka malaikat akan bershalawat kepadanya sampai pagi hari.

Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Abu Nu’aim dalam Hilyatul Auliya (5/26), dengan sanad:

Abdullah bin Muhammad, Muhammad bin Syu’aib, Muhammad bin ‘Ashim Ar Razi, Hisyam bin Ubaidillah Ar Razi, Muhammad bin Jabir Al Hanafi Al Yamami, Laits bin Abi Sulaim, Thalhah bin Musharrif, Mush’ab bin Sa’ad, Sa’ad bin Abi Waqqash.

Pada hadits ini ada tiga perawi yang cacat:

– Hisyam bin Ubaidillah Ar Razi

Imam Ibnu Hibban mengatakan: “Dia diragukan berbagai riwayatnya dan  suka salah jika meriwayatkan dari orang-orang yang tsabit (kuat lagi kokoh), jadi ketika dia banyak menyelisihi orang-orang yang tsabit maka  berhujjah dengannya adalah hal yang batil.” (Al Majruhin, 3/90)

Imam Adz Dzahabi mengatakan:  “Mereka (para ulama) telah melemahkannya dalam masalah hadits.” (Tadzkiratul Huffazh, 1/284), Imam Adz Dzahabi juga mengutip dari Abu Ishaq dalam Thabaqat Al Hanafiyah: “Dia lemah dalam masalah riwayat.” (Siyar A’lamin Nubala, 8/475)

– Muhammad bin Jabir Al Hanafi Al Yamami

Imam Yahya bin Ma’in mengatakan: Dia bukan apa-apa. (Tarikh Ibni Ma’in, 3/541), Beliau juga mengatakan: Dia seorang buta dan haditsnya mengalami kekacauan (ikhtilath), dulu dia tinggal di Kufah lalu pindah ke Al Yamamah dan dia seorang yang dhaif. (Tahzibut Tahzib, 9/89). Amru bin Ali mengatakan: Dia seorang yang jujur tetapi sering ragu, haditsnya ditinggalkan. Abu Hatim mengatakan: Kitab-kitabnya hilang di akhir usianya sehingga  jeleklah hafalannya, dahulu dia termasuk yang teliti, Ibnu Mahdi mengambil hadits darinya lalu meninggalkannya setelah dia menjadi buruk. (Ibid)

Imam Bukhari mengatakan: Mereka membincangkan dirinya. (At Tarikh Al Awsath, 2/188),sementara dalam kitabnya yang lain: Dia bukan orang yang kuat. (At Tarikh Al Kabir, 1/53, lihat juga Adh Dhu’afa Ash Shaghir, Hal. 119)

Imam Abu Zur’ah mengatakan: Menurut para ulama, Muhammad bin Jabir haditsnya gugur. (Imam Ibnu Abi hatim, Al Jarh wa At Ta’dil, 7/220)

– Laits bin Abi Sulaim

Imam Ahmad mengatakan: haditsnya guncang. Imam Yahya bin Ma’in dan Imam An Nasa’i mengatakan: dhaif. Imam Ibnu Hibban mengatakan: Di akhir hayatnya dia mengalami kekacauan hafalan. (Imam Adz Dzahabi, Mizanul I’tidal, 3/420)

Nah, tiga perawi inilah yang membuat dhaifnya hadits ini menurut para ulama. Diantaranya dikatakan oleh Imam Al Munawi. (At Taisir bisyarhil Jami’ Ash Shaghir, 2/415), juga Syaikh Al Albani. (Dhaiful Jami’ No. 5569)

Tidak ada pula yang shahih tentang teks seperti apa doanya, yang penting adalah doa-doa apa pun yang baik silahkan saja.

Ada pun doa khatmul quran yang terkenal, Allahumarhamniy bil quran waj’alhu liy imaman wa nuuran wa huda wa rahmah …, sering dipakai kaum muslimin, dan tercetak di banyak mushhaf Al Qur’an, juga tidak memiliki riwayat yang kuat.

Imam Zainudin Al ‘Iraqi Rahimahullah berkata tentang doa tersebut:

رَوَاهُ أَبُو مَنْصُور المظفر بن الْحُسَيْن الأرجاني فِي فَضَائِل الْقُرْآن وَأَبُو بكر بن الضَّحَّاك فِي الشَّمَائِل كِلَاهُمَا من طَرِيق أبي ذَر الْهَرَوِيّ من رِوَايَة دَاوُد بن قيس معضلا

Diriwayatkan oleh Abu Manshur Al Muzhafar bin Al Husain Al Arjani, pada kitab Fadhailul Quran, juga Abu Bakar bin Adh Dhahhak dalam Asy Syamail, keduanya dari jalan Abu Dzar Al Harawi dari riwayat Daud bin Qays, secara mu’dhal. (Takhrij Ahadits Al Ihya’, 1/329)

Hadits mu’dhal adalah salah satu jenis hadits dhaif, yang tingkatannya di bawah hadits munqathi’ dan mursal. Hadits mu’dhal adalah jika pada sanadnya ada dua perawi atau lebih yang hilang (tidak disebutkan namanya) secara berturut-turut.

Namun demikian, tidak masalah menggunakan doa ini karena umat telah mengamalkannya sepanjang zaman, selama tidak menganggapnya dari Nabi, dan doa ini pun tidak bertentangan dengan tabiat agama Islam, dan derajatnya pun tidak sampai palsu. Selain doa ini, menggunakan doa apa pun yang baik-baik juga tidak masalah.

Demikian. Wallahu A’lam.