Home TJ FIQIH IBADAH TJ FIQIH THAHARAH

Najisnya Daging Babi

536
SHARE
Najisnya Daging Babi

Pertanyaan:
Assalamu’alaikum, Ustadz. Saya mau bertanya, bagaimana hukum memegang daging babi? Apalagi TKI (Tenaga Kerja Indonesia) yang kerjanya mau tidak mau harus memegang daging babi, walaupun TKI tersebut tidak memakannya. Mohon penjelasannya, Ustadz.

Jawaban:

Bismillah wal Hamdulillah wash Shalatu was Salamu ‘ala Rasulillah wa Ba’d.

Najisnya daging babi sudah disepakati para ulama, ada pun selain dagingnya, seperti kulit dan bulunya, terjadi khilafiyah di antara mereka (insya Allah akan dibahas kapan-kapan).

Dalilnya adalah:

قُلْ لا أَجِدُ فِي مَا أُوحِيَ إِلَيَّ مُحَرَّمًا عَلَى طَاعِمٍ يَطْعَمُهُ إِلا أَنْ يَكُونَ مَيْتَةً أَوْ دَمًا مَسْفُوحًا أَوْ لَحْمَ خِنْزِيرٍ فَإِنَّهُ رِجْسٌ …

Katakanlah: “Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaKu, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi – karena sesungguhnya semua itu kotor (rijs)…” [QS. Al An’am (6): 145].

Tertulis dalam Tafsir Al Muyassar:

قل -أيها الرسول- : إني لا أجد فيما أوحى الله إليَّ شيئًا محرمًا على من يأكله مما تذكرون أنه حُرِّم من الأنعام، إلا أن يكون قد مات بغير تذكية، أو يكون دمًا مراقًا، أو يكون لحم خنزير فإنه نجس

“Katakanlah –wahai Rasul: sungguh aku tidak temukan pada apa yang Allah wahyukan kepadaku makanan yang diharamkan untuk dimakan, dari apa yang kalian sebutkan bahwa telah diharamkan hewan ternak, melainkan hewan yang matinya tidak disembelih, atau darah yang mengalir, atau daging babi, karena itu adalah najis,” [Tafsir Al Muyassar: 2/440].

Imam Abul Hasan Al Mawardi Rahimahullah menjelaskan:

{ أَوْ لَحْمَ خِنزِيرٍ فَإِنَّهُ رِجْسٌ } يعني نجساً حراماً

“(atau daging babi, karena itu adalah rijs/kotor) yakni najis lagi haram,” [An Nukat wal ‘Uyun: 1/453].

Namun Imam Asy Syaukani berbeda dengan kesepakatan ini. Dia menyendiri. Menurutnya daging babi adalah suci. Makna rijs bukanlah najis, tetapi haram. Tak ada hubungan antara haramnya sesuatu dengan kenajisannya. Sebab yang haram belum tentu najis, seperti menikahi ibu dan anak kandung sendiri adalah haram, tapi mereka bukan najis, [As Sailul Jarar: 1/38].

Wallahu A’lam.