Home FIQIH IBADAH

Selintas Seputar Zakat (Bag. 9)

1260
SHARE

F.  Zakat Profesi/Penghasilan/Mata Pencaharian

Ini adalah jenis zakat yang diperselisihkan para ulama sat ini. Sebagaimana dahulu ulama juga berselisih tentang adanya sebagian zakat lainnya, seperti zakat sayur-sayuran, buah-buahan selain kurma, dan zakat perdagangan.

Sebagian kalangan ada yang bersikap keras menentang zakat profesi, padahal perbedaan semisal ini sudah ada sejak masa lalu, ketika mereka berbeda pendapat tentang ada tidaknya zakat sayur-sayuran, buah-buahan, dan perdagangan tersebut. Seharusnya perbedaan pendapat yang disebabkan ijtihad seperti ini tidak boleh sampai lahir sikap keras apalagi membid’ahkan dan menuduh sesat segala.

Pihak yang Mendukung

Mereka yang mendukung pendapat ini seperti Syaikh Muhammad Abu Zahrah, Syaikh Abdul Wahhab Khalaf, Syaikh Abdurrahman Hasan, dan Syaikh Yusuf Al Qaradhawi, memandang  ada beberapa alasan keharusan adanya zakat profesi:

–  Profesi yang dengannya menghasilkan uang, termasuk kategori harta dan kekayaan.

–  Kekayaan dari penghasilan bersifat berkembang dan bertambah, tidak tetap, ini sama halnya dengan barang yang dimanfaatkan untuk disewakan. Dilaporkan dari Imam Ahmad, bahwa beliau berpendapat tentang seseorang yang menyewakan rumahnya mendapatkan uang sewaan yang cukup nisab, bahwa orang tersebut wajib mengeluarkan zakatnya ketika menerimanya tanpa persyaratan setahun. Hal itu pada hakikatnya menyerupai mata pencaharian, dan wajib dikeluarkan zakatnya bila sudah mencapai satu nisab, walau tanpa haul.

–  Selain itu, hal ini juga diqiyaskan dengan zakat tanaman, yang mesti dikeluarkan oleh petani setiap memetik hasilnya. Bukankah petani juga profesi? Sebagian ulama menolak menggunakan qiyas dalam masalah ini, tetapi pihak yang mendukung mengatakan bukankah zakat fitri dengan beras ketika zaman Nabi juga tidak ada? Bukankah Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam hanya mencontohkan dengan kurma dan gandum? Saat ini ada zakat fitri dengan beras karena beras adalah makanan pokok di Indonesia, tentunya ini juga menggunakan qiyas, yakni mengqiyaskan dengan makanan pokok negeri Arab saat itu, kurma dan gandum. Jadi, makanan apa saja yang menjadi makanan pokoklah yang dijadikan alat pembayaran zakat. Jika mau menolak, seharusnya tolak pula zakat fitri dengan beras yang hanya didasarkan dengan qiyas sebagai makanan pokok.

–  Dalam perspektif keadilan Islam, maka adanya zakat profesi adalah keniscayaan. Bagaimana mungkin Islam mewajibkan zakat kepada petani yang pendapatannya tidak seberapa, namun membiarkan para pengusaha kaya, pengacara, dokter, dan profesi prestise lainnya menimbun harta mereka? Kita hanya berharap mereka mau bersedekah sesuai kerelaan hati?

–  Dalam perspektif maqashid syari’ah (tujuan dan maksud syariat), adanya zakat profesi adalah sah. Sebab lebih mendekati keadilan dan kemaslahatan, serta sesuai ayat:
Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (keluarkan zakat) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu.(QS. Al Baqarah (2): 267)

Bukankah zakat penghasilan diambil dari hasil usaha yang baik-baik saja?

–   Mereka berpendapat bahwa zakat profesi ada dua jenis pelaksanaan, sesuai jenis pendapatan manusia. Pertama, untuk orang yang gajian bulanan, maka pendekatannya dengan zakat tanaman, yaitu nishabnya adalah 5 wasaq, senilai dengan 653 Kg gabah kering giling, dan dikeluarkan 2,5%, yang dikeluarkan  ketika menerima hasil (gaji), tidak ada haul. Kedua, bagi yang penghasilannya bukan bulanan, seperti tukang jahit, kontraktor, pengacara, dokter, dan semisalnya, menggunakan pendekatan zakat harta, yakni nishab senilai dengan 85 gram emas setelah diakumulasi dalam setahun, setelah dikurangi hutang konsumtif, dikeluarkan sebesar 2,5%. Untuk jenis yang ini sebenarnya juga diakui oleh pihak yang menentang zakat profesi, bahwa zakat harta penghasilan itu ada jika sudah satu haul dan nishabnya 85 gram emas itu dan dikeluarkan 2,5%-nya.

Dasar Pemikiran Zakat Profesi

Zaman ini kebanyakan manusia mebiayai hidupnya dengan dua cara, bekerja sendiri (wiraswasta) seperti penjahit, tukang kayu, dokter praktek, arsitek, dll, atau kepada orang lain (baik swasta atau pegawai negara), seperti guru, menteri, anggota dewan, dll. Penghasilan pekerjaan seperti itu disebut gaji atau upah, kadang juga disebut honor. Bahkan di beberapa tempat petani pun menggunakan sistem gajian, yakni mereka bekerja pada perusahaaan yang memiliki lahan luas, bibitnya, lalu petanilah sebagai pekerjanya, sebulan sekali pendapat gaji. Contoh Salim Group terhadap petani kelapa sawit di Kabupaten Sambas, Kalimantan Barat.

Wacana zakat profesi (penghasilan) telah bergulir lebih dari setengah abad yang lalu. Para ulama, seperti Abdurrahman Hasan, Muhammad Abu Zahrah, dan Abdul Wahab Khalaf telah mengemukakan wacana ini di Damaskus pada tahun 1952. Adapun Syaikh al Qaradhawy baru menguatkan hal ini pada awal tahun 1970-an (tepatnya 1973 ketika dia menyusun kitab Fiqih Zakatnya). Jadi, sangat aneh dan serampangan, dan bernilai fitnah,  jika ada yang mengatakan bahwa zakat profesi merupakan pemikiran bid’ahnya Syaikh al Qaradhawy seorang diri.  Berikut teks para ulama tersebut (Halaqah Dirasah al Islamiyah, Hal. 248):

Pencarian dan profesi dapat diambil zakatnya bila sudah setahun dan cukup senisab. Jika kita berpegang pada pendapat Abu Hanifah, Abu Yusuf dan Muhammad (bin Hasan), bahwa nisab tidak perlu harus tercapai sepanjang tahun, tapi cukup tercapai penuh antara dua ujung tahun tanpa kurang di tengah-tengah, kita dapat menyimpulkan bahwa penafsiran tersebut memungkinkan untuk mewajibkan zakat atas hasil pencarian setiap tahun, karena hasil itu jarang terhenti sepanjang tahun bahkan kebanyakan mencapai kedua sisi ujung tahun tersebut. Berdasarkan hal itu, kita dapat menetapkan hasil pencarian (profesi) sebagai sumber zakat, karena terdapatnya ‘illat (penyebab), yang menurut ulama-ulama fiqih sah, dan nisab, yang merupakan landasan wajib zakat.

Untuk bisa dianggap kaya bagi seseorang, Islam memiliki ukurannya yakni 12 Junaih emas menurut ukuran Junaih Mesir lama, maka ukuran itu harus terpenuhi pula buat seseorang untuk terkena kewajiban zakat, sehingga jelas perbedaan antara orang kaya yang wajib zakat dan miskin penerima zakat.

Dalam hal ini madzhab Hanafi lebih jelas, yaitu bahwa jumlah senisab itu cukup terdapat pada awal dan akhir tahun saja tanpa harus terdapat di pertengahan tahun. Ketentuan ini harus diperhatikan dalam mewajibkan zakat atas hasil pencarian dan profesi ini, supaya dapat jelas siapa yang tergolong kaya dan siapa yang tergolong miskin, seorang pekerja profesi jarang tidak memenuhi ketentuan tersebut.

Mengenai besar zakat, mereka mengatakan, “Pencarian dan profesi, kita tidak menemukan contohnya dalam fikih, selain masalah khusus mengenai penyewaan yang dibicarakan Imam Ahmad. Ia dilaporkan berpendapat tentang seseorang yang menyewakan rumahnya mendapatkan uang sewaan yang cukup nisab, bahwa orang tersebut wajib mengeluarkan zakatnya ketika menerimanya tanpa persyaratan setahun. Hal itu pada hakikatnya menyerupai mata pencaharian, dan wajib dikeluarkan zakatnya bila sudah mencapai satu nisab.

Hal itu sesuai dengan apa yang kita tegaskan lebih dahulu, bahwa jarang seseorang pekerja yang penghasilannya tidak mencapai nisab seperti yang telah kita tetapkan, meskipun tidak cukup dipertengahan tahun tetapi cukup diakhir tahun. Ia wajib mengeluarkan zakat sesuai dengan nisab yang telah berumur setahun.”  (Ibid)

 Gaji dan Upah adalah Harta Pendapatan

Akibat dari  tafsiran itu, kecuali bagi yang menentang, – adalah bahwa zakat wajib dipungut dari gaji atau sejenisnya sebulan dari dua belas bulan. Karena ketentuan wajib zakat adalah cukup nisab penuh pada awal tahun dan akhir tahun.

Yang menarik adalah pendapat guru-guru besar tentang hasil pencarian dan profesi dan pendapatan dari gaji atau lain-lainnya di atas, bahwa mereka tidak menemukan persamaannya dalam fikih selain apa yang dilaporkan tentan pendapat Imam Ahmad tentang sewa rumah di atas. Tetapi sesungguhnya persamaan itu ada yang perlu disebutkan id sini, yaitu bahwa kekayaan tersebut dapat digolongkan kepada kekayaan penghasilan, “yaitu kek

ayaan yang diperoleh seorang muslim melalui bentuk usaha baru yang sesuai syariat agama. Jadi pandangan fikih tentang bentuk penghasilan itu adalah, bahwa ia adalah “harta penghasilan.”

Sekelompok sahabat berpendapat bahwa kewajiban zakat kekayaan tersebut langsung, tanpa menunggu batas waktu setahun (Haul). Di antara mereka adalah Ibnu Abbas, Ibnu Mas’ud, Mu’awiyah, Shadiq, Baqir, Nashir, Daud, dan juga diriwayatkan dari Umar bin Abdul Aziz, Hasan, Az Zuhri, dan Al Auza’i.

Di dalam penelitiannya, Syaikh al Qaradhawy menilai lemah hadits-hadits tentang ketentuan satu tahun, baik hadits dari Ali, Ibnu Umar, Anas, dan Asiyah. Bukan hanya beliau yang mempermasalahkan, juga Imam Ibnu Hazm, dan Imam Ibnu Hajar. Inilah yang menurutnya tidak ada haul dalam zakat profesi tapi dikeluarkan saat mendapatkan hasil.

Pihak yang menolak

Pihak yang menolak, umumnya para ulama Arab Saudi dan yang mengikuti mereka, berpendapat tidak ada zakat profesi. Sebab Al Quran dan As Sunnah secara tekstual tidak menyebutkannya, dan hendaknya mencukupkan diri dengannya.

Mereka menganggap, aturan main zakat profesi tidaklah konsisten. Kenapa nishabnya diqiyaskan dengan zakat tanaman (5 wasaq), tetapi yang dikeluarkan bukan dengan ukuran zakat tanaman pula? Seharusnya dikeluarkan adalah 5 % atau 10 % sebagaimana zakat tanaman, tetapi zakat profesi mengeluarkan zakatnya adalah 2,5% mengikuti zakat emas.

Sementara Syaikh Ibnul ‘Utsaimin, Syaikh Shalih Al Munajjid  dan lainnya mengatakan bahwa zakat penghasilan itu ada, tetapi seperti zakat lainnya, mesti mencapai nishab, dan menunggu selama satu haul. Dengan kata lain, tidak diwajibkan zakat penghasilan pada gaji bulanan. Hanya saja nishabnya itu adalah setara 85 gram emas dan dikeluarkan 2,5% setelah satu haul, sebagaimana penjelasan sebelumnya.

Demikianlah perselisihan ini.

Selesai. Wallahu A’lam.

Wa Shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala aalihi wa Shahbihi wa Sallam.

Ust. Farid Nu’man Hasan Hafizhahullah