Home FIQIH IBADAH

Qurban dan Pembahasannya (Bag. 3)

954
SHARE
Niat untuk Berqurban

Berqurban adalah termasuk amal ibadah, dan amal ibadah mestilah didahulukan dengan niat untuk membedakannya dengan adat (kebiasaan). Syaikh Wahbah Az Zuhaili Rahimahullah menerangkan:

لا تجزئ الأضحية بدون النية؛ لأن الذبح قد يكون للحم، وقد يكون للقربة، والفعل لا يكون قربة بدون النية، لقوله عليه الصلاة والسلام: «إنما الأعمال بالنيات، وإنما لكل امرئ ما نوى» قال الكاساني: والمراد منه عمل هو قربة، فلا تتعين الأضحية إلا بالنية.

Qurban tidaklah sah tanpa niat, karena sembelihan yang akan menjadi daging akan menjadi qurbah (sarana mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala), dan perbuatan tidaklah dinilai sebagai qurbah tanpa dengan niat, sesuai sabdanya: (sesungguhnya amal perbuatan hanyalah dengan niat dan sesungguhnya setiap orang akan mendapatkan apa-apa yang sesuai yang diniatkannya). Al Kisani mengatakan: “maksudnya adalah amal perbuatan untuk qurbah, maka berqurban tidaklah memiliki nilai kecuali dengan niat.” [1]

Beliau meneruskan:

واشترط الشافعية والحنابلة: أن تكون النية عند ذبح الأضحية؛ لأن الذبح قربة في نفسه. ويكفيه أن ينوي بقلبه، ولا يشترط أن يتلفظ بالنية بلسانه؛ لأن النية عمل القلب، والذكر باللسان دليل عليها

Kalangan Syafi’iyah dan Hanabilah mensyaratkan: hendaknya berniat sebelum menyembelih, karena menyembelih (hewan qurban) merupakan qurbah. Telah mencukupi bahwa niat adalah di hati. Tidak disyaratkan melafazhkan niat dengan lisan, karena niat adalah amalan hati, dan pengucapan di lisan merupakan petunjuk bagi amalan di hati.[2]

Waktu Penyembelihan

Waktu penyembelihan qurban hanyalah tertentu saja, yakni  setelah Shalat ‘Id (10 Dzulhijjah) hingga selesai ayyamut tasyriq (hari-hari tasyrik), yakni 11, 12, dan 13 Dzulhijjah. Lewat itu maka bukan lagi disebut hewan qurban (Al Udh-hiyah) tetapi sedekah biasa, namun tetap akan mendapat ganjaran dari Allah Ta’ala. Insya Allah.

Hal ini berdasarkan hadits dari Jubair bin Muth’im Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

وَكُلُّ أَيَّامِ التَّشْرِيقِ ذَبْحٌ

“Setiap hari-hari tasyriq merupakan waktu penyembelihan.”[3]

Penyembelihan dilakukan setelah shalat Id, sesuai ayat berikut:

فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ

“Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu; dan berqurbanlah.” (Q.S. Al Kautsar: 2)

Ayat ini menunjukkan bahwa an nahr (penyembelihan) dilakukan setelah shalat ‘Id sebagaimana yang diterangkan oleh Imam Ash Shan’ani di atas.

Juga diterangkan dalam riwayat Jundab Al Bajali Radhiallahu ‘Anhu:

شَهِدْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَّى يَوْمَ أَضْحًى ثُمَّ خَطَبَ فَقَالَ مَنْ كَانَ ذَبَحَ قَبْلَ أَنْ يُصَلِّيَ فَلْيُعِدْ مَكَانَهَا وَمَنْ لَمْ يَكُنْ ذَبَحَ فَلْيَذْبَحْ بِاسْمِ اللَّهِ

Aku melihat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam shalat pada Idul Adha, kemudian berkhuthbah dan berkata: barang siapa yang menyembelih sebelum shalat maka dikembalikan tempatnya, dan barang siapa yang belum menyembelih maka sembelihlah dengan menyebut nama Allah.”[4]

Bersambung …

[1] Syaikh Wahbah Az Zuhaili, Al Fiqhul Islami wa Adillatuhu, 1/187

[2] Ibid

[3] H.R. Ahmad No. 16751. Ath Thabarani dalam Al Mu’jam Al Kabir No. 1583, Al Baihaqi dalam As Sunan Al Kubra No. 10006, 19021. Alauddin Al Muttaqi Al Hindi, Kanzul ‘Ummal No. 12052. Berkata Imam Al Haitsami: rijaluhu mautsuqun (semua perawayat haditsnya tsiqat [kredibel/terpercaya]). (Majma’ az Zawaid, 3/251). Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan: “shahih lighairih.” (Ta’liq Musnad Ahmad No. 16751)

[4] H.R. Bukhari No. 6674, Muslim No. 1960. Ath Thabarani dalam Al Mu’jam Al Kabir No. 1713, Al Baihaqi dalam As Sunan Al Kubra No. 6058, Abu ‘Uwanah dalam Musnad-nya No. 7834

✏ Ust. Farid Nu’man Hasan Hafizhahullah