Home TJ FIQIH TJ FIQIH WANITA

Mengorbankan Nyawa Demi Kelahiran Anak

166
SHARE

Pertanyaan:

Ustad, bolehkah mengorbankan nyawa demi menyelamatkan orang lain? Misalnya seorang ibu yang menyelamatkan bayinya dalam kandungan. Walaupun ibu harus divonis oleh dokter salah satu dari keduanya akan ada yang meninggal, tapi si ibu rela mengorbankan nyawanya demi anaknya.

Jawaban Ustadz Farid Nu’man Hasan Hafizhahullah:

Memang besar pengorbanan ibu bagi anaknya, seorang ibu rela mati yang penting anaknya tetap hidup dan bahagia. Tentunya ini adalah perjuangan yang mulia.

Namun demikian, mesti diperhatikan “bagaimana” pengorbanan yang dimaksud. Jika maksudnya adalah menyengaja untuk mati alias bunuh diri demi anak, tentu bukan ini yang maksud, dan ini terlarang. Tapi jika maksudnya mati demi membela keluarga yang terancam musuh atau kejahatan, maka itu mati yang mulia, sebagaimana hadits:

وَمَنْ قُتِلَ دُونَ أَهْلِهِ فَهُوَ شَهِيدٌ

“Barang siapa terbunuh karena membela keluarga, maka ia syahid.” (H.R. Ahmad No. 1652, berkata Syaikh Syuaib Al Arnauth: sanadnya kuat. Ta’liq Musnad Ahmad, 3/190)

Adapun jika kondisinya wanita hamil, kehamilannya berbahaya bagi dirinya atau bayinya, dan hanya bisa diselamatkan salah satunya saja, lalu dia lebih memilih dirinya mati saja, asalkan anaknya selamat, maka ini pertimbangannya adalah fiqih muwazanah (fiqih pertimbangan); mana yang lebih besar madharat (bahaya, kerugian) yang terjadi jika salah satunya wafat dibanding lainnya.

Jika ibu wafat, itu madharat, bayi wafat juga madharat. Di antara keduanya mana madharat yang lebih besar dan mesti dihindari. Inilah yang perlu diperhatikan sesuai kaidah irtikab akhafidh dhararain (menjalankan dharar yang lebih ringan di antara dua dharar). Dalam pandangan kami wafatnya si ibu, lebih besar madharatnya. Sebab, bisa jadi dia punya tanggung jawab terhadap orang lain, ada suami dan anak lainnya, keluarga, saudaranya, atau hal-hal lain yang menjadi kewajibannya di dunia. Adapun wafatnya si bayi madharatnya lebih kecil dibanding wafatnya si ibu, karena dia belum menanggung apa-apa.

Di sisi lain, kehidupan ibu yang yang sudah nyata, jelas lebih diutamakan dibanding kehidupan bayi yang masih probabilitas (anggaplah fifty-fifty), sebagaimana hal yang meyakinkan tidak bisa dianulir oleh yang masih meragukan.

Tentunya kita berharap dan berdoa kepada Allah Ta’ala agar keduanya berhasil di selamatkan.

Demikian. Wallahu A’lam.