Home FIQIH FIQIH MUAMALAH

Musik – Kau Dicela, Kau Dipuja

767
SHARE
Musik - Kau Dicela, Kau Dipuja

Berikut ini adalah gambaran yang ada tentang posisi musik menurut ulama Islam. Bukan menurut pemusik dan penikmatnya yang awam terhadap syariat. Telah terjadi perselisihan panjang yang terjadi sejak dahulu di antara ulama, walau nyatalah bahwa mayoritas mereka mengharamkan. Wara’ adalah sikap terbaik dalam hal ini. Di sini kita tidak membahas nyanyian, tetapi hanya alat-alat musik.

Kedua kelompok itu sepakat dalam satu hal, yaitu musik-musik yang dibarengi dengan kegiatan yang haram, seperti mabuk, atau tarian wanita di depan laki-laki non mahram,  atau untuk mengiringi  syair-syair cabul, adalah haram, dan inilah mayoritas musik dan lagu yang ada saat ini.  Ada pun musik-musik yang bebas dari hal-hal di atas, mereka berbeda pendapat antara yang mengharamkan juga secara mutlak  karena alat musik adalah haram secara zat walau sebelumnya dia dibuat dari benda yang baik dan suci, ada pula yang mengharamkan jika musik-musik itu menyerupai dan biasa dipakai oleh ahli maksiat, ada pun musik yang tidak terasosiasikan ke ahli maksiat tidak apa-apa, sebaliknya ada juga yang membolehkan secara mutlak sebab menurut mereka tidak ada dalil dalam Al Quran dan As Sunnah Ash Shahihah yang mengharamkannya, dan mendengarkannya tidak ubahnya seperti mendengarkan suara gemericik air di pancurannya, sama saja, selama bersih dan bebas dari hal-hal yang diharamkan Allah Ta’ala seperti zina, khamr, judi, tarian yang diharamkan, dan semisalnya.

Bersama Pihak yang Mengharamkan 

Hadits-hadits yang terkait musik. Di antaranya:

  • Dari Abu Umamah Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
إِنَّ اللهَ بَعَثَنِي رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ وَهُدًى لِلْعَالَمِينَ، وَأَمَرَنِي رَبِّي بِمَحْقِ الْمَعَازِفِ وَالْمَزَامِيرِ وَالْأَوْثَانِ وَالصُّلُبِ .

“Sesungguhnya Allah mengutusk sebagai rahmat dan petunjuk bagi alam semesta, Rabbku memerintahkan aku untuk membinasakan Al Ma’azif (alat-alat musik)  dan seruling, berhala, dan salib …”  (H.R. Ahmad No. 22307, dengan tahqiq Syaikh Syu’aib Al Arnauth, dibantu oleh Syaikh Adil Mursyid, Syaikh Muhammad Ridhwan, dan kawan-kawan)

Dalam tahqiq pada Musnad Ahmad disebutkan: sanadnya dhaif jiddan. Faraja –yaitu Ibnu Fudhalah bin An Nu’man At Tanukhi- adalah seorang yang dhaif. Ali bin Yazid juga seorang yang dhaif. Al Qasim bin Abu Abdirrahman adalah Ibnu Abdirrahman Ad Dimasyqi, sahabat Abu Umamah.

Juga diriwayatkan oleh Ahmad bin Mani’ dalam Ittihaf Al Khairah (No. 5107), dari Yazid bin Harun, dengan sanad yang sama. Dikeluarkan juga oleh Ath Thayalisi (No. 1134), Ath Thabarani (No. 7803), dari berbagai jalan, dari Faraj bin Fudhalah, dengan sanad ini.

Lalu, hadits ini juga terdapat dalam Musnad Ahmad (No. 22218), dengan matan agak sedikit berbeda: “… Dia memerintahkan aku untuk membinasakan seruling, Al Kannaraat  yakni Al Baraabith (alat musik), Al Ma’azif, juga berhala yang dahulu disembah pada masa jahiliyah …”

Syaikh Syu’aib Al Arnauth juga mengatakan dhaif jiddan, lantaran sanadnya terdapat Faraja dan Ali bin Yazid pula, yang diketahui kedhaifannya.

Selain itu hadits ini juga terdapat Musnad Ahmad no. 22169, secara ringkas, juga No. 22280 secara ringkas juga.

Juga diriwayatkan oleh Al Bazzar dari Anas (No. 2939, 3002), tentang kisah seorang yang meninggalkan khamr, dan dia menumpahkannya di tembok Al Quds. Al Mundziri mengatakan dalam At Targhib: sanadnya hasan. (Shahih At Targhib wat Tarhib No. 2375, Syaikh Al Albani menshahihkannya, tetapi kisah ini tidak membicarakan alat musik)

Imam Al Haitsami juga mengisyaratkan kelemahan hadits Abu Umamah ini, lantaran kedhaifan Ali bin Yazid. (Majma’ Az Zawaid, 5/69), dan juga telah didhaifkan oleh Syaikh Al Albani. (Misykah Al Mashabih, No. 3654)

  • Dari Abu Malik Al Asy’ari Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
ليشربن ناس من أمتي الخمر. يسمونها بغير اسمها. يعزف على رءوسهم بالمعازف والمغنيات، يخسف الله بهم الأرض. ويجعل منهم القردة والخنازير

Manusia dari umatku akan benar-benar meminum khamr, mereka menamakannya bukan dengan namanya. Mereka bernyanyi dengan alat-alat musik dan penyanyi wanita. Allah menenggelamkan mereka ke bumi dan menjadikan sebagian mereka menjadi kera dan babi.” (H.R. Ibnu Majah No. 4020)

Syaikh Al Albani menshahihkan hadits ini. (Misykah Al Mashabih, No. 4292). Imam Abu Daud dalam Sunannya juga meriwayatkan, ketika ditanya kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tentang Ad Daadzi, Beliau menjawab: umatku akan benar-benar meminum khamr dan menamakannya dengan bukan namanya. (No. 3689). Hanya sampai ini nash-nya, tidak menyebut musik dan lainnya. Sufyan Ats Tsauri mengatakan: Ad Daadzi adalah minuman orang fasiq. (Ibid)

Sementara Imam Ibnu Hazm mendhaifkan hadits ini. Tertulis dalam Rasail Ibni Hazm:

لم يقبله ابن حزم لأن فيه معاوية بن صالح وهو ضعيف، وفيه مالك بن أبي مريم ولا يدرى من هو (وأيده في ذلك الذهبي وقال ابن حبان إنه من الثقات)

Ibnu Hazm tidak menerimanya, karena di dalamnya terdapat Mu’awiyah bin Shalih, dia dhaif. Dan, juga ada Malik bin Abi Maryam, dia tidak mengetahui siapa dia.” [Adz Dzahabi mendukung hal ini, dan berkata Ibnu Hibban: dia termasuk tsiqat].” (Rasail Ibni Hazm, 1/425. Mawqi’ Ruh Al Islam)

Imam Adz Dzahabi menukil dari Ibnu Ghanam, tentang Malik bin Abi Maryam, katanya: tidak dikenal, dia meriwayatkan dari Hatim bin Huraits hadits tentang khamr. [yaitu hadits ini] (Mizanul I’tidal, 3/428, No. 7028)

Ada pun Muawiyah bin Shalih, dia adalah Muawiyah bin Shalih Al Hadhrami Al Himshi, dia adalah seorang tokoh dan qadhi di Andalusia. Para imam berselisih tentang dia.

Ja’far Ath Thayalisi dari Yahya bin Ma’in mengatakan: tsiqah. Abu Thalib berkata dari Imam Ahmad bin Hambal: dahulu dia keluar dari Himsh sebagai seorang yang tsiqah. Abu Khaitsamah dan Ad Dauri menyebutkan dalam Tarikh mereka berdua, dari Ibnu Ma’in bahwa Yahya bin Said tidak meridhai Muawiyah bin Shalih. Abu Khaitsamah menyebutkan dari Ibnu Ma’in: dia shalih. Sedangkan Ad Dauri menyebutkan dari Ibnu Ma’in: bukan orang yang diridhai (haditsnya). Demikian ini juga dinukil oleh Ibnu Abi Hatim dari Ad Dauri, tetapi bukan dari Tarikhnya.

Al Laits bin ‘Ubadah mengatakan, bahwa Yahya bin Ma’in mengatakan: jika  Ibnu Mahdi membicarakan hadits Muawiyah bin Shalih maka Yahya bin Sa’id membentaknya (mencegahnya). Ali Al Madini mengatakan, bahwa Yahya bin Sa’id mengatakan; saya tidak mengambil hadits darinya. Sedangkan Abdurrahman bin Mahdi, An Nasa’i, Abu Zur’ah menilainya tsiqah. (Lihat Al Hafizh Ibnu Hajar, Tahdzibut Tahdzib, 10/209-210)

Kebanyakan ulama menyatakan bahwa musik-musik yang biasa digunakan oleh pelaku maksiat adalah haram, walau yang menggunakannya adalah orang baik dan untuk mengiringi syair-syair yang baik, sebab itu merupakan wujud dari tasyabbuh dengan mereka.

Berikut ini keterangannya:

وَالْمُعْتَمَدُ عِنْدَ أَكْثَرِهِمْ أَنَّهُ يَحْرُمُ اسْتِعْمَال آلَةٍ مِنْ شِعَارِ الشَّرَبَةِ كَطُنْبُورٍ وَعُودٍ ، وَجَدَكٍ وَصَنْجٍ وَمِزْمَارٍ عِرَاقِيٍّ وَسَائِرِ أَنْوَاعِ الأَْوْتَارِ وَالْمَزَامِيرِ ؛ لأَِنَّ اللَّذَّةَ الْحَاصِلَةَ مِنْهَا تَدْعُو إِلَى فَسَادٍ كَشُرْبِ الْخَمْرِ لاَ سِيَّمَا مَنْ قَرُبَ عَهْدُهُ بِهَا ؛ وَلأَِنَّهَا شِعَارُ الْفَسَقَةِ وَالتَّشَبُّهُ بِهِمْ حَرَامٌ ، وَخَرَجَ مَنْ سَمِعَهَا بِغَيْرِ قَصْدٍ

Pendapat yang mu’tamad [resmi] bagi kebanyakan ulama adalah diharamkan menggunakan alat-alat [musik] yang menjadi simbol bagi para pemabuk, seperti tamborin dan ‘aud [gitar/alat musik gambus], jadak, simbal [sejenis alat musik], seruling Irak, dan semua macam alat musik senar dan tiup, karena kenikmatan mendengarkannya membawa manusia kepada kerusakan seperti minum khamr, apalagi bagi orang  yang berkawan dekat dengan  pemakainya, karena itu merupakan simbol kefasikan dan menyerupai mereka adalah haram, tapi keluar dari pengertian ini adalah orang yang tidak bermaksud mendengarkannya [alias tidak sengaja]. (Hasyiah Ibnu Abidin, 4/382, Jawahirul Iklil, 2/238/11, Nihayatul Muhtaj, 8/281, Al Mughni, 9/175-176)

Jadi, mendengarkan atau memainkan alat-alat musik yang biasa dimainkan oleh pelaku maksiat adalah haram, yaitu karena hal itu dapat membawa pelakunya dalam perbuatan haram. Sekali pun aman dari hal itu, tetap itu haram karena dia tidak selamat dari  keharaman lain, yakni penyerupaan terhadap perilaku ahli maksiat dan kefasikan

Ust. Farid Nu’man Hasan Hafizhahullah