Home KONSULTASI SYARIAH

Hukum Imam tidak Mumpuni

269
SHARE
Hukum Imam Tidak Mumpuni

Pertanyaan:

Assalamualaikum. Ustadz. Ana ada beberapa pertanyaan.

Di sebuah mushalla, dekat dengan rumah ana, ada sebuah kajian islam “salafy”. Kami sebagai warga tidak keberatan dengan adanya kegiatan-kegiatan keislaman seperti itu. Namun yang menjadi keberatan hati kami adalah pemberi taujih/ustadz yang membawa materi tersebut. Mohon maaf ustadz, kami menilai keilmuan dalam bidang fiqih ustadz tersebut “tidak mumpuni”/kalau boleh saya bilang sangat tidak menguasai fiqih, dan kadang cenderung salah dalam menerangkan fiqih. Hal ini kami rasakan ketika sang ustadz menjadi imam di tempat tersebut. Ternyata bacaan Quran ustadz tersebut sangat “belepotan”, tidak puguh panjang-pendeknya dan makhrajul hurufnya. Pertanyaannya Ustadz:

– Bagaimana dipandang dalam syariat bila kita berimam kepada ustadz tersebut, sedangkan bacaannya sangat tidak memadai?

– Dalam kajian tersebut, ia juga mengajarkan tentang bacaan Qur’an. Bagaimana mungkin ia bisa mengajarkan al Quran bila bacaannya masih seperti itu? Bagaimana hukumnya bila menuntut ilmu dari ustadz yang pemahamanya dan bacaan Qurannya sangat kurang memadai. Kami berharap Ustadz dapat memberikan pencerahan kepada kami.

Jazakallah khair. (Muhamad Abduh)

Jawaban Ust. Farid Nu’man Hasan Hafizhahullah:

Wa ‘Alaikumussalam wa rahmatullah wa barakatuh

Bismillah wal hamdulillah wash shalatu was salamu ‘ala rasulillah wa ‘ala aalihi wa ashhabihi wa ba’du.

Sangat disayangkan jika itu terjadi, sebab orang tersebut telah menjadikan dirinya melebihi keadaan sebenarnya. Sebenarnya memang hal seperti ini sudah diisyaratkan oleh Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, akan datangnya manusia yang menuntut ilmu kepada kaum yang tidak seharusnya diambil ilmunya.

Dari Abdullah bin Amr bin Al Ash Radhiallahu ‘Anhuma, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

إنَّ اللَّهَ لَا يَقْبِضُ الْعِلْمَ انْتِزَاعًا يَنْتَزِعُهُ مِنْ الْعِبَادِ وَلَكِنْ يَقْبِضُ الْعِلْمَ بِقَبْضِ الْعُلَمَاءِ حَتَّى إِذَا لَمْ يُبْقِ عَالِمًا اتَّخَذَ النَّاسُ رُءُوسًا جُهَّالًا فَسُئِلُوا فَأَفْتَوْا بِغَيْرِ عِلْمٍ فَضَلُّوا وَأَضَلُّوا

Sesungguhnya Allah tidaklah mencabut ilmu begitu saja dari para hambanya, tetapi Dia mencabut ilmu dengan diwafatkannya para ulama, hingga akhirnya tidak tersisa ulama, dan manusia menjadikan tokoh-tokoh yang bodoh, lalu mereka bertanya kepada tokoh-tokoh itu, dan mereka menjawab (berfatwa) tanpa ilmu, maka mereka tersesat dan menyesatkan.” (H.R. Bukhari No. 100 dan Muslim No. 2673)

Juga dalam riwayat lainnya, dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

سَيَأْتِي عَلَى النَّاسِ سَنَوَاتٌ خَدَّاعَاتُ يُصَدَّقُ فِيهَا الْكَاذِبُ وَيُكَذَّبُ فِيهَا الصَّادِقُ وَيُؤْتَمَنُ فِيهَا الْخَائِنُ وَيُخَوَّنُ فِيهَا الْأَمِينُ وَيَنْطِقُ فِيهَا الرُّوَيْبِضَةُ قِيلَ وَمَا الرُّوَيْبِضَةُ قَالَ الرَّجُلُ التَّافِهُ فِي أَمْرِ الْعَامَّةِ

Akan datang kepada manusia tahun-tahun kebohongan, saat itu  pendusta dibenarkan, orang benar malah didustakan, pengkhianat diberikan amanah, sementara orang yang amanah malah dikhianati, dan saat itu para Ar Ruwaibidhah berbicara.” Dikatakan: “Apakah Ar Ruwaibidhah itu?” Beliau bersabda: “Seorang bodoh tapi membicarakan urusan orang banyak.” (H.R. Ibnu Majah No. 4036, Syaikh Al Albani mengatakan: shahih. As Silsilah Ash Shahihah No. 1887)

Dari Abu Umayyah Al Jumahi Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

إن من أشراط الساعة ثلاثة إحداهن أن يلتمس العلم عند الأصاغر

Sesungguhnya di antara tanda-tanda kiamat ada tiga, salah satunya adalah menuntut ilmu kepada Al Ashaghir. (H”.R. Ath Thabarani dalam Al Kabir No. 908, Abu Nu’aim dalam Ma’rifatush Shahabah No. 6077, Syaikh Al Albani mengatakan: shahih. Lihat Shahihul Jami’ No. 2207)

Siapakah Al Ashaghir (orang-orang kecil)?  Imam Abdullah bin Al Mubarak Rahimahullah mengatakan:

الذين يقولون برأيهم، فأما صغير يروي عن كبير فليس بصغير

Orang-orang yang mengutarakan pendapat dengan pendapat mereka semata, adapun orang kecil yang meriwayatkan dari orang besar (ulama), dia bukanlah shaghir yang dimaksud.” (Imam Ibnu Abdil Bar, Jami’ Bayan Al ‘Ilmi wa Fadhlihi, 1/312. Cet. 1, 2003M-1424H. Muasasah Ar Rayyan – Dar Ibnu Hazm)

Selanjutnya tentang dua point pertanyaan antum:

1. Jika kita mengalami ini, maka ketahuilah kekurangan imam, atau bahkan kesalahan fatal imam, semuanya ditanggung oleh imam itu sendiri, dan tidaklah ditanggung oleh makmum. Hal ini berdasarkan beberapa dalil berikut:

Allah Ta’ala berfirman:

أَلَّا تَزِرُ وَازِرَةٌ وِزْرَ أُخْرَى وَأَنْ لَيْسَ لِلْإِنْسَانِ إِلَّا مَا سَعَى

(yaitu) bahwasanya seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain. dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya. (Q.S. An Najm : 38-39)

Ayat lain:

كُلُّ نَفْسٍ بِمَا كَسَبَتْ رَهِينَةٌ

Tiap-tiap diri bertanggung jawab atas apa yang telah diperbuatnya.” (Q.S. Al Mudatsir (74): 38)

Dalam hadits:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلُّونَ بِكُمْ فَإِنْ أَصَابُوا فَلَكُمْ وَلَهُمْ وَإِنْ أَخْطَئُوا فَلَكُمْ وَعَلَيْهِمْ

Dari Abu Hurairah dia berkata, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Mereka shalat sebagai imam bagi kalian, maka jika mereka benar, pahalanya bagi kalian dan mereka, dan jika mereka salah, maka pahalanya untuk kalian, dosanya ditanggung mereka.” (H.R. Bukhari No. 694)

Sahl berkata:

إِنِّي سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ الْإِمَامُ ضَامِنٌ فَإِنْ أَحْسَنَ فَلَهُ وَلَهُمْ وَإِنْ أَسَاءَ يَعْنِي فَعَلَيْهِ وَلَا عَلَيْهِمْ

Sesungguhnya aku mendengar, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:”Imam itu adalah penanggung jawab, jika dia benar, maka pahalanya bagi dia dan bagi makmum, jika dia salah, maka tanggung jawabnya adalah kepadanya, bukan kepada makmum.” (H.R. Ibnu Majah No. 981, Syaikh Al Albani mengatakan: shahih. Lihat Shahih wa Dhaif Sunan Ibni Majah No. 981)

Berkata Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah:

تصح إمامة من أخل بترك شرط أو ركن إذا أتم المأموم وكان غير عالم بما تركه الامام

Bermakmum kepada orang yang tertinggal syarat dan rukun shalat adalah sah, dengan syarat makmum tidak tahu kesalahan tersebut dan dia menyempurnakan apa-apa yang ditinggalkan oleh imam.” (Fiqhus Sunnah, 1/241)

2. Ya, dalam perkara ini sudah sangat jelas, bahwa orang tersebut sedang mengajarkan sesuatu yang dia sendiri masih banyak belajar. Kita berbaik sangka, barangkali orang tersebut memiliki ghirah yang tinggi terhadap agama. Namun ada baiknya dia melihat dulu kemampuannya agar tidak timbul kesan sok (sombong) dan tidak tahu diri. Ahsannya, pihak mushalla atau masjid, mencarikan guru lain yang lebih memiliki kompetensi dibandingnya. Tentu amat berbahaya mengambil ilmu agama dari orang yang sebenarnya belum layak mengajarkanya. Bukan hanya orang itu, tentunya kita semua masih belajar.

Wallahu A’lam.