Home AQIDAH

Pernikahan Laki-Laki Muslim dengan Ahli Kitab, Bolehkah?

472
SHARE

Bismillah al hamdulillah wash shalatu was salamu ‘ala rasulillah wa ba’d.

Pernikahan dengan wanita kafir dari golongan musyrikin, maka laki-laki muslim dilarang menikahi mereka.

Dalilnya adalah:

وَلَا تَنْكِحُوا الْمُشْرِكَاتِ حَتَّى يُؤْمِنَّ وَلَأَمَةٌ مُؤْمِنَةٌ خَيْرٌ مِنْ مُشْرِكَةٍ وَلَوْ أَعْجَبَتْكُمْ

Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. (Q.S. Al Baqarah [2]: 221)

Ayat ini berlaku umum, larangan menikahi bagi semua wanita musyrik [musyrikaat]. (Tafsir As Sa’diy, Hal. 99), baik Hindu, Budha, Konghucu, Sinto, dan semisalnya. Ayat ini menunjukkan keharaman begitu jelas pernikahan laki-laki muslim dengan wanita musyrik. (Tafsir Ibnu ‘Asyur, 2/360)

Lalu, bagaimana jika laki-laki muslim menikahi wanita kafir dari kalangan Ahli Kitab?

Fakta sejarah, bahwa di antara istri Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam ada yang Nasrani yaitu Mariah Al Qibthiyah, dan Yahudi yaitu Shafiyyah binti Huyay, saat menikah dengan Rasulullah Shallallahu’Alaihi wa Sallam mereka masih menganut agama lamanya, tapi kemudian mereka masuk Islam, sebagaimana dikatakan Al Hafizh Ibnu Hajar.

Allah Ta’ala berfirman:

وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الْمُؤْمِنَاتِ وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلِكُمْ

[Dan dihalalkan mengawini] wanita yang menjaga kehormatan diantara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al Kitab sebelum kamu. (Q.S. Al Maidah [5]: 5)

Ayat ini menunjukkan kebolehan bagi laki-laki muslim menikahi wanita Ahli Kitab yang menjaga kehormatan dirinya, bukan sembarang wanita Ahli Kitab.

Syaikh Ibnu ‘Asyur Rahimahullah mengatakan bahwa pembolehan ini adalah pendapat mayoritas ulama, imam empat madzhab, juga Ats Tsauriy dan Al Auza’iy. (Ibid)

Hanya saja telah terjadi perbedaan pendapat para ulama dalam memahami ‘jenis’ wanita Ahli Kitab yang boleh dinikahi. Wanita Ahli Kitab yang seperti apa?

Imam Ibnu Katsir Rahimahullah menjelaskan:

“Kemudian, para ahli tafsir dan ulama berbeda pendapat tentang firmanNya Ta’ala: [wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al Kitab sebelum kamu] apakah berlaku umum untuk semua wanita Ahli Kitab yang menjaga dirinya, sama saja baik itu yang merdeka atau yang budak?

Ibnu Jarir menceritakan dari segolongan ulama salaf ada yang menafsirkan Al Muhshanah adalah wanita yang menjaga kehormatannya [Al ‘Afiifah]. Dikatakan pula: maksud dengan Ahli Kitab di sini adalah wanita-wanita Al Israiliyat, dan ini pendapat Asy Syafi’i. Ada juga yang mengatakan: dzimmiyat [wanita kafir dzimmi], bukan harbiyat [wanita kafir harbi], karena Allah Ta’ala berfirman: [Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak [pula] kepada hari kemudian, dan mereka tidak mengharamkan apa yang diharamkan oleh Allah dan RasulNya dan tidak beragama dengan agama yang benar [agama Allah], [yaitu orang-orang) yang diberikan Al-Kitab kepada mereka, sampai mereka membayar jizyah dengan patuh sedang mereka dalam keadaan tunduk]. [QS. At Taubah [9]: 29].” (Tafsir Ibnu Katsir, 3/42)

Jika kita lihat paparan Imam Ibnu Katsir di atas, khususnya pendapat Imam Asy Syafi’iy yang madzhabnya dianut di Indonesia, bahwa wanita Ahli Kitab yang dimaksud ayat tersebut dan dibolehkan dinikahi adalah wanita Israiliyat (keturunan Bani Israil), maka ini pelajaran bagi umat Islam Indonesia, khususnya kaum laki-lakinya bahwa wanita-wanita Ahli Kitab di Indonesia bukanlah wanita Bani Israil yang boleh dinikahkan. Sebab, Ahli Kitab di Indonesia umumnya adalah Melayu, dan bukan Bani Israil.

Kemudian, pembolehan menikahi wanita Ahli Kitab, juga menjadi umumnya pendapat sahabat Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, bahkan mereka pun melakukannya.

Berikut keterangan Imam Ibnu Katsir Rahimahullah:

“Dari Ibnu Abbas, dia berkata: ketika ayat ini turun [Janganlah kalian nikahi wanita-wanita musyrik sampai mereka beriman], maka manusia menahan dirinya dari mereka, hingga turun ayat setelahnya: [dihalalkan menikahi wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al Kitab sebelum kamu] maka manusia menikahi wanita-wanita Ahli Kitab.

Segolongan sahabat Nabi telah menikahi wanita-wanita Nasrani, dan mereka memandang hal itu tidak masalah. Hal itu berdasarkan ayat yang mulia: [wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al Kitab sebelum kamu] mereka menjadikan ayat ini sebagai pengkhususan terhadap ayat di Al Baqarah: [janganlah kalian nikahi wanita-wanita musyrik sampai mereka beriman].” (Ibid)

Bagi kami, wanita Ahli Kitab yang boleh dinikahi sebaiknya adalah wanita yang paling mudah untuk didakwahi dan besar peluangnya untuk diarahkan kepada Islam, baik dia wanita Yahudi, Nasrani, Harbiyat, dan Dzimmiyat. Sebab, hikmah pembolehan ini adalah karena umumnya kaum laki-laki-lah yang mengendalikan rumah tangga dan bisa mengajak isterinya kepada agama tauhid. Wallahu A’lam.

Tapi, jika peluang ini kecil maka menikahi wanita muslimah adalah jauh lebih baik dari menikahi mereka. Bahkan menikahi wanita Ahli Kitab dapat menjadi terlarang jika kaum laki-laki muslimnya termasuk yang minim pemahaman agama dan lemah aqidahnya, sehingga justru memungkinkan dirinya yang mengikuti agama isterinya. Di sisi lain, menikahi wanita Ahli Kitab lebih sulit mewujudkan target keluarga: sakinah, mawaddah, dan rahmah. Bagaimana perjalanan dapat nyaman, jika satu perahu dengan dua nakhoda dengan dua tujuan yang berbeda? Bagaimana pun juga menikahi wanita muslimah adalah lebih baik, lebih utama, dan tidak ada kontroversi hukum sama sekali.
Kemudian, sebagian sahabat Nabi ada yang mengharamkan pernikahan laki-laki muslim dengan wanita Nasrani, seperti Ibnu Umar Radhiallahu ‘Anhuma, karena menurutnya Nasrani juga musyrik, sedangkan wanita musyrik dilarang untuk dinikahi.

Disebutkan oleh Imam Ibnu Katsir Rahimahullah:

“Abdullah bin Umar memandang tidak boleh menikahi wanita Nasrani, dia mengatakan: “Saya tidak ketahui kesyirikan yang lebih besar dibanding perkataan: sesungguhnya Tuhan itu adalah ‘Isa, dan Allah Ta’ala telah berfirman: [Janganlah kalian menikahi wanita-wanita musyrik sampai dia beriman]. (Q.S. Al Baqarah [2]: 122)”. (Ibid)

Begitu pula ayahnya, yaitu Umar bin Khaththab Radhiallahu ‘Anhu, Beliau memarahi sahabat Nabi yang menikahi Ahli Kitab. Imam Abul Hasan Al Mawardiy Rahimahullah menceritakan:

“Disebutkan bahwa Thalhah bin ‘Ubaidillah menikahi wanita Yahudi, dan Hudzaifah menikahi wanita Nasrani, maka Umar bin Khaththab marah besar kepada mereka, hampir-hampir dia menampar mereka berdua. Lalu, mereka berkata: “Kami akan ceraikan wahai Amirul Mu’minin, janganlah kamu marah.” (An Nukat wal ‘uyun, 1/281)

Demikian permasalahan ini. Wallahu A’lam.

Wa Shallallahu ‘Ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala Aalihi wa Shahibihi wa Sallam.

🖋 Ustadz Farid Nu’man Hasan Hafizhahullah