Home FIQIH IBADAH FIQIH THAHARAH

Tubuh dan Wadah-Wadah Nonmuslim, Najiskah?

456
SHARE

Bismillah wal Hamdulillah wash Shalatu was Salamu ‘ala Rasulillah wa Ba’d.

Tidak ada yang najis, kecuali yang disebutkan najis oleh syariat. Oleh karenanya, jika tidak ada keterangan yang menyebutkan bahwa tubuh (fisik) kaum Ahli Kitab adalah najis, maka tubuh mereka adalah suci sebagaimana sucinya tubuh kaum muslimin. Bahkan, ini juga berlaku bagi kaum musyrikin. Telah menjadi ijma’ kaum muslimin –sebagaimana dikatakan Imam An Nawawi, bahwa tubuh mereka adalah suci, yang najis adalah aqidah mereka yang musyrik, bukan tubuhnya.

Tentang ayat yang berbunyi: “Innamal musyrikuuna najasun – Sesungguhnya orang-orang muysrik itu najis.” Berkata Al Hafizh Ibnu Hajar Rahimahullah:

بِأَنَّ الْمُرَادَ أَنَّهُمْ نَجَسٌ فِي الِاعْتِقَادِ وَالِاسْتِقْذَارِ وَحُجَّتهمْ أَنَّ اللَّهَ تَعَالَى أَبَاحَ نِكَاح نِسَاء أَهْلِ الْكِتَابِ

Sesungguhnya, maksud bahwa mereka najis adalah najis pada aqidahnya dan kotor. Hujjah mereka (mayoritas ulama) adalah sesungguhnya Allah Ta’ala membolehkan menikahi wanita ahli kitab (Yahudi dan Nasrani).“ [1]

Jadi, bagaimana mungkin syariat membolehkan menikahi wanita mereka, namun di sisi lain tubuh mereka adalah najis?

Imam An Nawawi Rahimahullah mengatakan:

وَذَكَرَ الْبُخَارِيّ فِي صَحِيحه عَنْ اِبْن عَبَّاس تَعْلِيقًا : الْمُسْلِم لَا يَنْجُس حَيًّا وَلَا مَيِّتًا . هَذَا حُكْم الْمُسْلِم . وَأَمَّا الْكَافِر فَحُكْمه فِي الطَّهَارَة وَالنَّجَاسَة حُكْم الْمُسْلِم هَذَا مَذْهَبنَا وَمَذْهَب الْجَمَاهِير مِنْ السَّلَف وَالْخَلَف . وَأَمَّا قَوْل اللَّه عَزَّ وَجَلَّ : { إِنَّمَا الْمُشْرِكُونَ نَجَس } فَالْمُرَاد نَجَاسَة الِاعْتِقَاد وَالِاسْتِقْذَار ، وَلَيْسَ الْمُرَاد أَنَّ أَعْضَاءَهُمْ نَجِسَة كَنَجَاسَةِ الْبَوْل وَالْغَائِط وَنَحْوهمَا . فَإِذَا ثَبَتَتْ طَهَارَة الْآدَمِيّ مُسْلِمًا كَانَ أَوْ كَافِرًا ، فَعِرْقه وَلُعَابه وَدَمْعه طَاهِرَات سَوَاء كَانَ مُحْدِثًا أَوْ جُنُبًا أَوْ حَائِضًا أَوْ نُفَسَاء ، وَهَذَا كُلّه بِإِجْمَاعِ الْمُسْلِمِينَ كَمَا قَدَّمْته فِي بَاب الْحَيْض

Imam Bukhari menyebutkan dalam Shahihnya, dari Ibnu Abbas secara mu’alaq (tidak disebut sanadnya): Seorang muslim tidaklah najis baik hidup dan matinya. Ini adalah hukum untuk seorang muslim. Adapun orang kafir maka hukum dalam masalah suci dan najisnya adalah sama dengan hukum seorang muslim (yakni suci). Ini adalah madzhab kami dan mayoritas salaf dan khalaf. Adapun ayat (Sesungguhnya orang musyrik itu najis) maka maksudnya adalah najisnya aqidah yang kotor, bukan maksudnya anggota badannya najis seperti najisnya kencing, kotorannya, dan semisalnya. Jika sudah pasti kesucian manusia baik dia muslim atau kafir, maka keringat, ludah, darah, semuanya suci, sama saja apakah dia sedang berhadats, atau junub, atau haid, atau nifas. Semua ini adalah ijma’ kaum muslimin sebagaimana yang telah lalu saya jelaskan dalam Bab Haid.” [2]

Sebenarnya, tidak ada ijma’ dalam hal sucinya tubuh mereka sebagaimana klaim Imam An Nawawi. Sebab, Ibnu Abbas Radhiallahu ‘Anhuma berpendapat bahwa sesuai zhahir ayat: innamal musyrikun najasun – (sesungguhnya orang musyrik itu najis), maka tubuh orang musyrik itu najis sebagaimana najisnya babi dan anjing. Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir, dari Al Hasan Al Bashri, katanya: “Barang siapa yang bersalaman dengan mereka maka hendaknya berwudhu.” [3]

Ini juga menjadi pendapat kaum zhahiriyah. Berkata Imam Ibnu Katsir Rahimahullah:

“Maka, menurut jumhur bukanlah najis badan dan zatnya, karena Allah ﷻ menghalalkan makanan Ahli Kitab, dan sebagian Zhahiriyah menajiskan badan mereka.” [4]

Namun yang shahih adalah pendapat jumhur bahwa mereka adalah suci, sebagaimana disebutkan Syaikh Muhammad Ali Ash Shabuniy berikut ini:

Tarjih: yang shahih adalah pendapat jumhur (mayoritas) karena seorang muslim berinteraksi dengan mereka, dahulu Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam minum dari wadah kaum musyrikin, dan bersalaman dengan nonmuslim. Wallahu A’lam.“ [5]

Untuk wadah (Al Aaniyah) milik mereka, berikut keterangannya:

ذَهَبَ الْحَنَفِيَّةُ وَالْمَالِكِيَّةُ ، وَهُوَ أَحَدُ قَوْلَيْنِ عِنْدَ الْحَنَابِلَةِ : إِلَى جَوَازِ اسْتِعْمَال آنِيَةِ أَهْل الْكِتَابِ إِلاَّ إِذَا تَيَقَّنَ عَدَمَ طَهَارَتِهَا . وَصَرَّحَ الْقَرَافِيُّ الْمَالِكِيُّ بِأَنَّ جَمِيعَ مَا يَصْنَعُهُ أَهْل الْكِتَابِ مِنَ الأَْطْعِمَةِ وَغَيْرِهَا مَحْمُولٌ عَلَى الطَّهَارَةِ . وَمَذْهَبُ الشَّافِعِيَّةِ ، وَالرِّوَايَةُ الأُْخْرَى عِنْدَ الْحَنَابِلَةِ : أَنَّهُ يُكْرَهُ اسْتِعْمَال أَوَانِي أَهْل الْكِتَابِ ، إِلاَّ أَنْ يَتَيَقَّنَ طَهَارَتَهَا فَلاَ كَرَاهَةَ

Kalangan Hanafiyah dan Malikiyah berpendapat, dan ini salah satu pendapat Hanabilah: bahwa boleh saja menggunakan wadahnya Ahli Kitab, kecuali jika diyakini sudah hilang kesuciannya. Al Qarrafi Al Maliki menjelaskan bahwa semua yang dibuat oleh Ahli Kitab baik berupa makanan dan selainnya, dimungkinkan kesuciannya. Sedangkan pendapat Syafi’iyah, dan riwayat lain dari Hanabilah: bahwa makruh menggunakan wadah Ahli Kitab, kecuali jika sudah diyakini kesuciannya, maka tidak makruh. [6]

Maka, jika kita lihat keterangan ini, semua madzhab sepakat bahwa bolehnya menggunakan wadah mereka jika wadah itu suci. Jika hilang kesuciannya, maka tidak boleh menggunakannya. Ini pun, sebenarnya juga berlaku bagi wadah umat Islam, yakni harus suci. Tidak mungkin syariat membolehkan wadah yang najis, hanya karena dia adalah milik seorang muslim. Yang jelas, milik siapapun wadah itu, jika sudah disucikan maka tidak apa-apa menggunakannya.

Namun demikian, bagi seorang muslim yang wara’ (hati-hati dengan yang haram) mereka akan mengutamakan wadah-wadah milik kaum muslimin. Sebab hampir bisa dipastikan kaum muslimin tidak akan memasukkan zat-zat najis ke dalam wadah mereka, seperti lemak babi, arak, dan semisalnya. Adapun kaum Ahli Kitab dan musyrik, ada kemungkinan mereka pernah menggunakan zat-zat najis ke dalam wadah mereka, walaupun sekali dalam hidupnya.

Oleh karenanya, Nabi ﷺ walaupun membolehkan makan menggunakan wadah Ahli Kitab jika suci, beliau tetap lebih mendahulukan tidak menggunakannya selama masih ada alternatif wadah (baik piring, mangkok, nampan, ember, panci, wajan, bak) milik kaum muslimin.

Dari Abu Tsa’labah Al Khusyani Radhiallahu ‘Anhu, katanya:

قُلْتُ يَا نَبِيَّ اللَّهِ إِنَّا بِأَرْضِ قَوْمٍ مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ أَفَنَأْكُلُ فِي آنِيَتِهِمْ .

Aku berkata: “Wahai Nabiyallah, sesungguhnya kami tinggal di negerinya kaum Ahli Kitab, apakah kami boleh makan di wadah mereka …. dan seterusnya.

Jawaban Nabi ﷺ adalah:

أَمَّا مَا ذَكَرْتَ مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ فَإِنْ وَجَدْتُمْ غَيْرَهَا فَلَا تَأْكُلُوا فِيهَا وَإِنْ لَمْ تَجِدُوا فَاغْسِلُوهَا وَكُلُوا فِيهَا

Adapun apa yang kamu ceritakan tentang Ahli Kitab, maka jika kamu mendapatkan selain bejana mereka, maka kamu jangan memakan menggunakan wadah mereka. Jika kamu tidak mendapatkan wadah lain, maka cuci saja wadah mereka dan makanlah padanya. [7]

Demikian. Wallahu A’lam.

Wa Shallallahu ‘Ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala Aalihi wa Shahibihi wa Sallam.

_____________________________________

[1] Imam Ibnu Hajar, Fathul Bari, 1/390

[2] Imam An Nawawi, Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 2/87

[3] Syaikh Muhammad Ali Ash Shabuniy, Rawaa’i Al Bayan, 1/282

[4] Imam Ibnu Katsir, Tafsir Al Quran Al ‘Azhim, 4/131

[5] Syaikh Muhammad Ali Ash Shabuniy, Rawaa’i Al Bayan, 1/282

[6] Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyah, 7/143

[7] H.R. Bukhari No. 5478

🖋 Ustadz Farid Nu’man Hasan Hafizhahullah