Home FIQIH IBADAH FIQIH SHALAT

Panduan Ibadah bagi Para Pemudik (Bag. 3)

600
SHARE

Perjalanan sejauh apa agar diperbolehkan menjamak atau mengqashar shalat?

Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah berkata:

وقد نقل ابن المنذر وغيره في هذه المسألة أكثر من عشرين قولا

Imam Ibnul Mundzir dan lainnya telah menukilkan bahwa ada dua puluh lebih pendapat tentang masalah ini [jarak dibolehkannya qashar]. (Fiqhus Sunnah, 1/284)

Perbedaan ini terjadi karena memang tak ada satu pun hadits dari Rasulullah ﷺ yang menyebutkan jarak secara jelas dan tegas. Berkata Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah, “Tidak ada sebuah hadits pun yang menyebutkan jarak jauh atau dekatnya bepergian itu.” (Fiqhus Sunnah, 1/239)

Namun, di antara hadits-hadits tersebut ada yang paling kuat -di antara yang lemah- yang menyebutkan jarak, yakni:

Yahya bin Yazid bertanya kepada Anas bin Malik Radhiallahu ‘Anhu mengenai mengqashar shalat. Ia menjawab:

كان رسول الله صلى الله عليه وسلم إذا خرج مسيرة ثلاثة أميال أو ثلاثة فراسخ شعبة الشاك صلى ركعتين

”Rasulullah mengerjakan shalat dua rakaat [qashar] jika sudah berjalan sejauh tiga mil atau satu farsakh.” (H.R. Muslim No. 691)

Imam An Nawawi dan Imam Ibnu Hajar Rahimahumallah mengatakan inilah hadits paling shahih dalam masalah ini. (Fiqhus Sunnah, 1/284). Satu farsakh adalah 5.541 meter, satu mil adalah 1.748 meter.

Bahkan Imam Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan dengan sanad yang shahih, dari Ibnu Umar yang menyebutkan bahwa jarak minimal mengqashar shalat adalah satu mil! Jika kurang dari itu maka tidak boleh qashar. Inilah pendapat yang dikuatkan oleh Imam Ibnu Hazm.

Namun, jumhur (mayoritas) ulama mengatakan bahwa jarak dibolehkannya qashar adalah empat burd yakni 16 farsakh (88,656 km). Inilah pandangan Imam Malik, Imam Asy Syafi’i, dan Imam Ahmad bin Hambal, serta pengikut ketiga imam ini. Alasannya adalah perbuatan sahabat, yakni Ibnu Umar dan Ibnu Abbas mengqashar shalat dan berbuka puasa jika jarak tempuh sudah empat burd (16 farsakh = 88,656 km), dan ini adalah pendapat yang paling aman untuk diikuti.

Nah, bagaimanakah melihat berbagai riwayat yang saling bertentangan ini? Imam Abul Qasim Al Kharqi memberikan jawaban di dalam kitab Al Mughni, “Aku tidak menemukan alasan (yang bisa diterima) yang dikemukan oleh para imam itu. Sebab, keterangan dari para sahabat Nabi juga saling bertentangan sehingga tidak dapat dijadikan dalil. Telah diriwayatkan dari Ibnu Umar dan Ibnu Abbas bahwa mereka berbeda dengan dalil yang digunakan oleh kawan-kawan kami (para ulama). Kemudian, seandainya belum ditemukan dalil yang kuat, maka ucapan mereka (para sahabat) tidak bisa dijadikan dalil jika bertentangan dengan sabda dan perilaku Rasulullah ﷺ.”

Dengan demikian ukuran jarak yang mereka tetapkan tidaklah bisa diterima, disebabkan dua hal berikut:

Pertama, bertentangan dengan sunnah Nabi ﷺ sebagaimana yang telah dijelaskan. Kedua, teks ayat firman Allah ﷻ yang membolehkan qashar shalat bagi orang yang dalam perjalanan: “Apabila kamu bepergian di permukaan bumi, maka tidak ada salahnya bila kamu mengqashar shalat …” (QS. An Nisa’: 101)

Syarat karena adanya rasa takut dengan orang kafir ketika bepergian, sudah dihapuskan dengan keterangan hadits Ya’la bin Umayyah. Dengan demikian, teks ayat ini bermakna mencakupi seluruh macam jenis bepergian.” (Fiqhus Sunnah, 1/240)

Kesimpulannya, qashar dapat dilakukan jika:

1. Sudah keluar dari daerahnya,
2. Lalu dengan jarak yang sudah layak, patut, dan pantas disebut sebagai perjalanan (safar). Mayoritas ulama mengatakan 88 km lebih. Sementara muhaqqiqin (peneliti) seperti Imam Ibnu Taimiyah, Imam Ibnul Qayyim, Imam Asy Syaukani, Asy Syaikh Sayyid Sabiq, dan lainnya, menganggap jaraknya dikembalikan pada kepatutan apakah sudah patut disebut safar atau tidak menurut tradisi yang ada.

3. Perjalanannya bukan perjalanan maksiat.

Wallahu A’lam.

(Bersambung)

✍ Ustadz Farid Nu’man Hasan Hafizhahullah