Home FIQIH IBADAH FIQIH SHAUM

Panduan Ibadah bagi Para Pemudik (Bag. 7)

491
SHARE

Mana yang lebih utama, tetap berpuasa atau berbuka ketika dalam safar?

Dalam masalah ini, mengambil rukhshah pada dasarnya adalah baik, dan tidak mengambilnya tidak apa-apa. Dengan kata lain jika dia memilih tidak berpuasa maka itu lebih baik sebagaimana perkataan Nabi ﷺ sendiri, sebagaimana riwayat berikut:

Dari Hamzah bin Amru Al Aslami Radhiallahu ‘Anhu, katanya:

يا رسول الله: أجد بي قوة على الصيام في السفر. فهل علي جناح ؟، فقال رسول الله صلى عليه وسلم: “هي رخصة من اللهّ فمن أخذ بها فحسن. ومن أحب أن يصوم فلا جناح عليه “.

“Wahai Rasulullah, saya punya kekuatan untuk berpuasa dalam safar, apakah salah saya melakukannya? Maka Rasulullah ﷺ menjawab: Itu adalah rukhshah dari Allah, barang siapa yang mau mengambilnya [yakni tidak puasa] maka itu baik, dan barang siapa yang mau berpuasa maka tidak ada salahnya. (H.R. Muslim No. 1121)

Dalam hadits ini, Nabi ﷺ menyebut baik bagi yang tidak berpuasa, ada pun bagi yang berpuasa beliau hanya mengatakan tidak ada salahnya, tidak apa-apa, tidak ada halangan. Tentu kata “baik” dan “tidak ada salahnya”, lebih bagus baik. Ini pada dasarnya, khususnya bagi yang merasa punya kekuatan, masih diberikan izin tidak mengambil rukhshah walau mengambil rukhshah adalah lebih baik.

Namun, masalah ini kenyataannya tidak sederhana. Syariat sangat memperhatikan kondisi masing-masing orang yang tidak sama. Tidak semua musafir punya kekuatan seperti laki-laki di atas (Hamzah bin Amru Al Aslami). Maka, bagi yang kepayahan dalam safarnya, mengambil rukhshah jauh lebih baik baginya.

Dari Jabir bin Abdullah Radhiallahu ‘Anhu, katanya:

أن رسول اللّ صلى اللّ عليه وسلم خرج إلى مكة عام الفتح في رمضان فصام حتى بلغ كراع الغميم فصام الناس معه فقيل له يا رسول اللّ إن الناس قد شق عليهم الصيام فدعا بقدح من ماء بعد العصر فشرب والناس ينظرون فأفطر بعض الناس وصام بعض فبلغه أن ناسا صاموا فقال أولئك العصاة

“Bahwa Rasulullah ﷺ keluar pada tahun Fath [penaklukan] menuju Makkah pada saat Ramadhan. Dia berpuasa hingga sampai pinggiran daerah Ghanim. Manusia juga berpuasa bersamanya. Dikatakan kepadanya: Wahai Rasulullah, nampaknya manusia kepayahan berpuasa. Kemudian beliau meminta segelas air setelah ‘Ashar, lalu beliau minum, dan manusia melihatnya. Maka sebagian manusia berbuka, dan sebagian lain tetap berpuasa. Lalu, disampaikan kepadanya bahwa ada orang yang masih puasa. Maka beliau bersabda: “Mereka durhaka.” (H.R. Muslim No. 1114, An Nasa’i No. 2263, At Tirmidzi No. 710)

Bahkan Nabi ﷺ pernah mengkritik orang yang berpuasa dalam keadaan safar dan orang itu kesusahan karenanya.

كان رسول اللّ صلى اللّ عليه وسلم في سفره. فرأى رجلا قد اجتمع الناس عليه. وقد ضلل عليه. فقال: “ماله ؟” قالوا:رجل صائم. فقال رسول اللّ عليه وسلم: “ليس من البر أن تصوموا في السفر “.

“Rasulullah ﷺ tengah dalam perjalanannya. Dia melihat seseorang yang dikerubungi oleh manusia. Dia nampak kehausan dan kepanasan. Rasulullah ﷺ bertanya: “Mengapa dia?” Mereka menjawab: “Seseorang yang puasa.” Maka Rasulullah ﷺ bersabda: “Tidak ada kebaikan kalian berpuasa dalam keadaan safar.” (H.R. Muslim No. 1115)

Jika diperhatikan berbagai dalil ini, maka dianjurkan tidak berpuasa ketika dalam safar, apalagi perjalanan diperkirakan melelahkan. Oleh karena itu, para imam hadits mengumpulkan hadits-hadits ini dalam bab tentang anjuran berbuka ketika safar atau dimakruhkannya puasa ketika safar. Contoh: Imam At Tirmidzi membuat Bab Maa Jaa fi Karahiyati Ash Shaum fi As Safar (bab tentang makruhnya puasa dalam perjalanan), bahkan Imam Ibnu Khuzaimah menuliskan dalam Shahihnya:

باب ذكر خبر روي عن النبي صلى اللّ عليه وسلم في تسمية الصوم في السفر عصاة من غير ذكر العلة التي أسماهم
بهذا الاسم توهم بعض العلماء أن الصوم في السفر غير جائز لهذا الخبر

Bab tentang khabar dari Nabi ﷺ tentang penamaan berpuasa saat safar adalah DURHAKA tanpa menyebut alasan penamaan mereka dengan nama ini. Sebagian ulama menyangka bahwa berpuasa ketika safar adalah TIDAK BOLEH karena hadits ini.

Tetapi, jika orang tersebut kuat dan mampu berpuasa, maka boleh saja dia berpuasa sebab berbagai riwayat menyebutkan hal itu, seperti riwayat Hamzah bin Amru Al Aslami Radhiallahu ‘Anhu di atas.

Ini juga dikuatkan oleh riwayat lainnya, dari Ibnu Abbas Radhiallahu ‘Anhuma, katanya:

لا تعب على من صام ولا من أفطر. قد صام رسول اللّ صلى اللّ عليه وسلم، في السفر، وأفطر .

“Tidak ada kesulitan bagi orang yang berpuasa, dan tidak ada kesulitan bagi yang berbuka. Rasulullah ﷺ telah berpuasa dalam safar dan juga pernah berbuka.” (H.R. Muslim No. 1113)

Dari Ibnu Abbas Radhiallahu ‘Anhuma juga:

سافر رسول اللّ صلى اللّ عليه وسلم في رمضان. فصام حتى بلغ عسفان. ثم دعا بإنء فيه شراب. فشربه نهارا. ليراه
الناس. ثم أفطر. حتى دخل مكة . قال ابن عباس رضي اللّ عنهما: فصام رسول اللّ صلى اللّ عليه وسلم وأفطر. فمن شاء صام، ومن شاء أفطر .

Rasulullah ﷺ mengadakan perjalanan pada Ramadhan, dia berpuasa hingga sampai ‘Asfan. Kemudian dia meminta sewadah air dan meminumnya siang-siang. Manusia melihatnya, lalu dia berbuka hingga masuk Makkah. Ibnu Abbas Radhiallahu Anhuma berkata: Maka Rasulullah ﷺ berpuasa dan berbuka. Barang siapa yang mau maka dia puasa, dan bagi yang mau buka maka dia berbuka. (Ibid)

Dengan men-tawfiq (memadukan) berbagai riwayat yang ada ini, bisa disimpulkan bahwa anjuran dasar bagi orang yang safar adalah berbuka. Namun, bagi yang kuat dan sanggup untuk berpuasa maka boleh saja berbuka atau tidak berpuasa sejak awalnya. Namun bagi yang sulit dan lelah, maka lebih baik dia berbuka saja. Wallahu A’lam

Maka, dalam konteks ‘boleh buka dan boleh puasa’ bagi yang sanggup, lalu manakah yang lebih utama?

Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah meringkas sebagai berikut:

فرأى أبو حنيفة، والشافعي، ومالك: أن الصيام أفضل، لمن قوي عليه، والفطر أفضل لمن لا يقوى على الصيام .وقال أحمد: الفطر أفضل .وقال عمر بن عبد العزيز: أفضلهما أيسرهما، فمن يسهل عليه حينئذ، ويشق عليه قضاؤه بعد ذلك، فالصوم في حقه أفضل .وحقق الشوكاني، فرأى أن من كان يشق عليه الصوم، ويضره، وكذلك من كان معرضا عن قبول الرخصة، فالفطر أفضل وكذلك من خاف على نفسه العجب أو الرياء – إذا صام في السفر – فالفطر في حقه أفضل .وما كان من الصيام خاليا عن هذه الامور، فهو أفضل من الافطار

Menurut Abu Hanifah, Malik, Syafi’i, puasa adalah lebih utama bagi yang kuat menjalankannya, dan berbuka lebih utama bagi yang tidak kuat. Ahmad mengatakan: berbuka lebih utama. Sedangkan Umar bin Abdul Aziz berkata: Yang paling utama dari keduanya adalah yang paling mudah. Barangsiapa yang lebih mudah puasa saat itu, dan mengqadha setelahnya justru berat, maka berpuasa baginya adalah lebih utama.”

Imam Asy Syaukani melakukan penelitian, dia berpendapat bahwa bagi yang berat berpuasa dan membahayakannya, dan juga orang yang tidak mau menerima rukhshah, maka berbuka lebih utama. Demikian juga bagi orang yang khawatir pada dirinya ada ujub dan riya jika puasa dalam perjalanan- maka berbuka lebih utama. Adapun jika puasanya sama sekali bersih dari perkara ini semua, maka puasa lebih utama. (Fiqhus Sunnah, 1/443, Nailul Authar, 4/225)

Demikian. Wallahu A’lam.

(Bersambung)

✍ Ustadz Farid Nu’man Hasan Hafizhahullah